RD.
Yustinus Ardianto, yang sering disapa dengan panggilan Romo Yus, adalah salah
satu pembicara dalam Seminar Sehari yang dilaksanakan di Aula Gereja St.
Theresia Jakarta pada Minggu, 5 Januari 2014. Tema seminar ini adalah “Retret, Kaderisasi dan Pembentukan Karakter
Orang Muda Katolik”. Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan perayaan Lustrum
VIII Civita Youth Camp. Berikut ini petikan materi yang disampaikan Romo Yus
dalam seminar itu yang mengangkat judul Youth
Today.
Tesis dasar: retret sebagai salah satu model
kaderisasi rohani bagi Orang Muda Katolik (usia 13-35 tahun) demi masa depan
Gereja dan masyarakat. Dari tesis dasar yang disampaikan ini didudul dengan
sebuah pertanyaan yang menohok, “Benarkan retret masih diminati dan efektif
untuk kaderisasi OMK kita?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut Romo Yus
menyampaikan kisah nyata.
Kisah pertama ini dialaminya ketika bertugas di
Komisi Komunikasi Sosial KAJ dan bertempat tinggal di Rumah Retret Samadi
Klender. Suatu saat Romo Yus diminta mendampingi retret di Sukabumi namun
karena tugas dan tanggung jawab di komisi dan Samadi Romo Yus menolak jika
retret di luar kota. “Kenapa tidak retret di Samadi?” demikian ia bertanya pada
koordinator dari sekolah yang bersangkutan. Singkat cerita retret akhirnya
diadakan di Samadi Klender seningga Romo Yus dapat mendampingi. Alasan klasik
yang disampaikan mengapa memilih retret di luar kota adalah agar ada
jalan-jalan atau rekreasinya, berbeda jika retret di dalam kota, di Samadi misalnya.
Romo Yus mendampingi retret dengan gaya yang menyenangkan meski bukan
senang-senang. Materi yang disampaikan dikemas dan disampaikan dengan menarik
melalui cerita-cerita lucu bermakna.
Kisah kedua mengenai retret setelah kerusuhan Mei
1998. Pendampingan retret setelah masa ini lebih mengajak pada mengobati luka
batin. Pengalaman yang tidak mengenakkan masih membekas di benak anak-anak
peserta retret. Maka metode yang digunakan pun perlu dimodifikasi sehingga
peserta retret mau menerima diri dan tidak terjebak dalam memori masa-masa itu.
Kisah terakhir tentang bagaimana Romo Yus mengawali
kegiatan dengan nama Catholic Spiritual and Character Building for Kids and
Teens dari 2006 - sekarang. Kegiatan ini mengajak anak-anak sekolah dasar dan
menengah untuk berani menjadi anak yang berkarakter. Caranya dengan mengajak
mereka retret. Anak yang awalnya malu dan malas ikut acara ini ternyata berubah
setelah selesai mengikutinya. Sebelum bernagkat ada yang “dipaksa” oleh orang
tuanya sehingga ada yang mengatakan “Mama iblis!” saking kesalnya karena si
anak disuruh ikut retret dengan model kemping ini. Namun setelah pulang ia
berubah, tentu hal ini tidak terjadi pada setiap peserta tetapi yang ingin
ditekankan bahwa pembentukan karakter perlu dilakukan sedini mungkin.
Kembali lagi pada pertanyaan awal, “Benarkan retret
masih diminati dan efektif untuk kaderisasi OMK kita?” Romo Yus dengan tegas
menjawab “Benar, retret masih relevan untuk kaderisasi”. Kemudian Romo Yus
memberikan gambaran bagaimana sesuatu yang fenomenal pernah terjadi dalam
retret kaderisasi. Ia menyebutkan bahwa Pastor Beek, SJ, melakukan kaderisasi
para pemuda dan mahasiswa Katolik. Ia melakukan kegiatan kaderisasinya di
asrama Realino Yogyakarta, di samping melakukan kaderisasi di Klender, Jakarta.
Di Klender kegiatan itu disebut Kasebul (Kaderisasi sebulan). Dalam kegiatan
Kasebul itu bukan cuma indoktrisasi yang dilakukan, bahkan latihan pisik yang
mendekati latihan militer juga diberikan. Di sana para kader dilatih menghadapi
situasi jika diinterograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari tahanan,
bagaimana survive dan sebagainya.
Selanjutnya kisah tentang THS-THM (Tunggal Hati
Seminari – Tunggal Hati Maria) yang dimotori oleh RD. Martinus Hadiwijoyo yang
kemudia mengibarkan bendera Beladiri Pencak Silat Katolik Tunggal Hati
Seminari, dengan moto perjuangannya Pro
Patria et Ecclesia - Demi Bangsa dan Gereja.
Memasuki tahun 1987, jumlah anggota THS-THM sudah
mencapai lebih dari 2300 orang yang tersebar di kota-kota Jakarta, Yogyakarta,
Surakarta, Wonogiri, Muntilan, Bandung, Lampung dan Banjarmasin. Dan sampai
sekarang THS-THM terus berkembang seiring dengan bertambahnya waktu, bahkan
sampai keluar negeri.
Civita artinya air kehidupan, “Masihkah engkau
menghidupkan?”. Usianya hampir genap 40 tahun. Dulu namanya sangat populer,
tetapi sekarang nyaris tak terdengar. Civita Youth Camp tetap ada dan setia
menjalankan fungsinya sebagai rumah retret bagi kaum muda. Retret bagi para
remaja ini bertujuan agar mereka memiliki pemahaman yang cukup luas tentang
“cinta dan siapa dirinya”. Tema ini kemudian disarikan dalam aneka kegiatan,
seperti games, doa, serta penjelasan materi. Pengalaman Rumah Retret adalah
pengalaman yang sulit untuk dihapus.
Beberapa catatan mengenai tren yang saat ini
mengkhawatikan menurut Romo Yus adalah pertama
semakin maraknya bisnis Character Building yang ditawarkan. Dikatakan sebagai bisnis karena
memang dalam kegiatan ini perhitungannya jelas, ia mengatakan, “Silakan bapak
ibu menyediakan biaya untuk kegiatan ini, sehari Rp 400.000,00 kalau tiga hari
tinggal dikalikan. Kami jamin putra putri bapak ibu senang”. “Bayangkan berapa
yang didapatkan penyedia layanan Character
Building jika yang ikut 100 anak selama tiga hari?” demikian Romo Yus
mengajak berhitung.
Kedua,
semakin banyaknya tempat yang bisa disebut sebagai “tempat retret” nampaknya
membawa pergeseran makna dari retret itu sendiri. Kegiatan yang dilakukan di
luar kota, menginap semalam sudah di sebut retret, entah apa kegiatan atau
acaranya. Hal ini ditambah dengan semakin susahnya mencari Romo untuk
membimbing retret atau pembinaan orang muda. Imam-imam muda inginkan langsung
bertugas di paroki dengan segala kesibukannya. Idealnya menurut Romo Yus pastor
paroki dapat memberi retret juga setidaknya dua kali dalam setahun.
Ketiga,
fenomena kesulitan menggairahkan kegiatan OMK di paroki-paroki. Hal ini terjadi
karena begitu banyak tawaran yang dapat dipilih daripada hanya berkumpul
bersama teman seiman. Romo Yus menyebutnya sebagai tantangan sekularisasi dan
materialisme.
Selain
kedua tantangan di atas potret orang muda dan anak-anak saat ini juga
memprihatinkan. Mereka defisit cinta kasih dari kedua orang tuanya sehingga
menciptakan orang-orang muda kesepian sehingga muncullah problem-problem
turunannya yang sangat mengerikan seperti drug,
sex, dugem, dan kekerasan. Namun di sisi yang lain, orang tua yang memberikan
cinta secara berlebihan membuat anak menjadi “lembek” dan kurang berdaya tahan
untuk mengalami sesuatu yang tidak nyaman.
Saat
ini di mana manusia memasuki era visual, mendengarkan menjadi sulit. Mereka
memilih menonton tayangan-tayangan yang mungkin tidak berguna atau bahkan
berakibat buruk. Repotnya adalah semakin melemahnya peran the three significant others. Bahkan saat ini ada anak yang
menganggap orang tua, guru dan pemuka agama sebagai rival atau ancaman.
Beberapa
hal di atas menimbulkan krisis sense of
religiousity yaitu krisis pada hal-hal religius. Orang muda tak tertarik
pada tawaran acara-acara rohani. Mereka lebih menyukai acara-acara yang lebih
menyenangkan. Doa tak lagi menjadi suatu bagian hidup sehari-hari karena
rutinitas yang begitu padat sehingga tidak ada waktu untuk hening. Dan akhirnya
mereka tak merasa tersentuh pada ritual-ritual rohani.
Dari
seluruh pemaparan di atas Romo Yus mengusulkan sebuah kemungkinan terobosan
baru. Pertama, kembalikan lagi
pendidikan budi pekerti untuk menyeimbangkan pendidikan yang berfokus pada
pengembangan bakat dan kompetensi. Kedua,
hati-hati dengan kesimpulan sempit yang mengatakan bahwa tuntutan zaman digital
memaksa kita harus menggunakan multimedia untuk mentransfer nilai-nilai.
Sharing pengalaman tidak akan pernah tergantikan dan teringat lama. Ketiga, buatlah petisi kepada Bapak
Uskup atau para provinsial untuk mengutus imam atau pun biarawan-biarawati yang
handal dengan pembekalan khusus untuk pastoral orang muda dan untuk pelayanan
retret.
Keempat,
terapkan metode Experiential
Learning yaitu suatu metode proses
belajar yang mengaktifkan peserta untuk membangun pengetahuan dan keterampilan
serta nilai-nilai melalui pengalamannya secara langsung.
Kelima,
Pola kaderisasi Yesus Kristus dengan 12 rasul 70 murid – pengikut – kerumunan
orang – dan sekarang dua milyar manusia. Menutup materi Romo Yus mengutip “Tell
me and I forget, teach me and I may remember, involve me and I learn.” dari
Benjamin Franklin.
Semoga
Civita semakin melibatkan banyak orang muda sehingga semakin memberikan air
kehidupan. Profisiat ata perayaan Lustrum VIII Civita Youth Camp. Tuhan
memberkati.