Refleksi tentang Civita

Oleh P. S. Zahnweh, SJ
 Salah satu Pendiri Civita Youth Camp

Latar Belakang
Lebih dari 40 tahun yang lalu sudah ada Sekretariat Muda-Mudi KAJ dengan personalia Sr Carolie, CB, Saudari Bernadette Setiyadi (Mahasiswi Psikologi UI), Pater S. Zahnweh, SJ, yang diharapkan melayani kebutuhan rohani orang muda di Jakarta. Kekeliruan besar kalau mengharapkan bahwa orang muda akan datang ke kantor untuk membicarakan persoalan-persoalan mereka. Sudah
jelas kami harus mendatangi mereka. Bagaimana caranya yang paling baik? Pada waktu itu ada sekitar 120 sekolah SMP/SMA Katolik di Jakarta yang sudah biasa melaksanakan retret tiga hari bagi kelas tiga. Tempat-tempat yang dipilih biasanya rumah-rumah retret di Sukabumi, Bogor atau Puncak. Berarti bahwa banyak waktu (dan uang) hilang untuk transport. Maka muncul ide untuk mendirikan suatu rumah retret khusus bagi kaum muda dan sesuai dengan keinginan Mgr. Leo Soekoto, SJ, sebaiknya di daerah KAJ. Kebetulan ada sebidang tanah yang cocok ditawarkan ke keuskupan, sehingga rencana menjadi kenyataan.

Belajar dari Pengalaman
Tidak gampang mengetrapkan retret pribadi Santo Ignatius pada kelompok orang muda yang umurnya 15 atau 18 tahun. Mula-mula, sesuai dengan cara yang dipakai pada waktu itu, kita pembina berbicara selama tiga hari dengan harapan bahwa para murid dengan diam mendengarkan selama tiga hari; harapan itu tentu sulit sampai mustahil terlaksana. Dari hasil refleksi dan evaluasi menjadi jelas bahwa pertama, semakin mereka terlibat sendiri, semakin berhasil dan memuaskan. Kedua, kalau para murid dibagikan ke dalam kelompok kecil, interaksi antara mereka amat positif dan menguntungkan. Ketiga, lewat permainan dan nyanyian tercipta suasana kegembiraan yang kondusif untuk kebersamaan dan keterbukaan. Keempat, kehadiran seorang Suster atau ibu Guru menambah perasaan “at home”. Dan kelima kehadiran Frater atau Suster muda sungguh membantu, karena orang muda paling sering sharing dengan yang umurnya sebaya. Empat puluh tahun yang lalu ukuran para Pastor tua untuk menilai hasilnya suatu retret hanya satu yaitu ketenangan para peserta. Maka tidak mengherankan, bahwa retret di Civita mula-mula disebut “main-main” saja.

Beberapa Pedoman
1.       Alam terbuka sebagai ciptaan Tuhan yang pertama sangat penting. Maka pohon, bunga dan air yang mengalir harus dipertahankan dan dinding-dinding dikurangi. Kedekatan dengan alam membawa ketenangan.
2.       Orang muda dekat dengan musik yang menyentuh hati. Maka lagu-lagu instrumental (Civita II) dan lagu-lagu seperti “Morning has broken” (Civita I) sangat disukai dan membantu menghayati suasana kontemplatif.
3.      Indoktrinasi dan memberi nasihat-nasihat dari atas, tentu salah melulu. Komunikasi yang berhasil hanya terjadi, kalau duduk sama rendah. Maka pembicaraan pribadi begitu penting. Semakin seseorang didengarkan, semakin ia rela mendengarkan. Dalam hal ini para pejabat gereja katolik sering punya kesulitan.


Persoalan pokok yang selalu muncul dalam retret di Civita
Kiranya tidak diragukan bahwa persoalan pokok orang muda adalah mencari identitas dirinya yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan “Who am I?” Siapakah aku ini dalam relasi dengan orang tua, sesama dan Tuhan. Proses ini tidak gampang dan biasanya menyakitkan, baik bagi orang muda maupun bagi orang tua. Orang tua mempersoalkan dan mengkhawatirkan anak mereka yang berontak terhadap orang tua karena merasa dewasa dan menuntut kebebasan. Anehnya, dalam pembicaraan pribadi orang muda biasanya juga hanya mengajukan satu persoalan, ialah orang tua mereka. Terjadi kesalahpahaman yang besar yaitu bahwa orang tua merasa ditolak, padahal anak mereka masih merindukan perhatian dan kasih sayang seperti dahulu.

Harapanku
Civita sekarang sudah berumur 40 tahun. Ibarat mulai masuk dalam krisis setengah umur. Berarti harus ada perkembangan, perubahan, penyesuaian terus-menerus, supaya seimbang dengan tuntutan, persoalan dan kemungkinan zaman sekarang. Biasanya hanya orang muda cukup peka terhadap perubahan zaman. Maka saya harap, bahwa ada cukup banyak biarawan-biarawati muda dan kaum awam yang mempunyai hati bagi orang muda, memahaminya karena ikut merasa dengan mereka.


                                                            P. S. Zahnweh, SJ
Berikutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »