Romo Odemus Bei Witono, SJ: Seperti Lilin-Lilin yang Butuh Api


Romo Bei, begitu sapaan akrab RP Odemus Bei Witono, SJ (40), anak Jakarta kelahiran 31 Juli 1973 yang dulu nakal mengaku “alumnus retret Civita” yang konon menginspirasinya menjadi seorang Jesuit. “Si Mantan Anak Bengal” ini, kini memegang kendali sebagai Direktur Civita Youth Camp (CYC) atau yang dikenal sebagai Civita. Tahu  2014, Civita menginjak 40 tahun. Terkait dengan Lustrum VIII Civita, Romo Bei yang gemar bermai catur itu, berkenan menerima JEJAK untuk wawancara, belum lama ini. Petikannya:



Apa daya tarik Civita?

Mereka, para peserta retret, utamanya kaum muda, tertarik ke Civita pertama, dari segi fisik. Mereka senang suasana alamnya, banyak pohon. Kedua, materi retret itu sendiri cocok dengan anak muda. Anak-anak SD disadarkan betapa Allah begitu mengasihi mereka. Anak SMP diajak untuk melihat siapa dirinya. Anak SMA diajak bagaimana mereka bertanggung jawab atas kebebasan yang Tuhan berikan.

Kami ada tim. Kami memberikan rekoleksi dan retret. Kami memberikan materi selain baik dan bagus, juga mudah ditangkap.

Apa tujuan retret di Civita?

Pembentukan karakter (Karakter building) anak muda. Di KAJ (Keuskupan Agung Jakarta) sendiri, sekarang banyak kegiatan sejenis. Kalau kiga bicara masalah karakter, itu menyangkut bagaimana seseorang bisa mengkalkulasikan dirinya menyangkut arah hidup, bagaimana arah hidupnya bisa dicapai dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Kalau anak itu sudah punya karakter, paling tidak dia bisa memilih atau memilah yang baik bagi dirinya.

Kalau tidak punya karakter, kita akan kehilangan arah. Kita tahu banyak kasus yang membuat remaja kita “habis” karena melakukan tindakan yang berbau kriminal, menghancurkan diri, bahkan harga diri tergadaikan, hanya demi kepentingan yang sifatnya sesaat dan tidak cukup membantu mereka menjadi manusia bagi sesama.

Orang-orang yang datang itu, bagi bagi seperti lilin-lilin yang membutuhkan api, sehingga mereka menjadi berguna. Jadi, setelah pukang dari Civita, mereka punya orientasi hidup yang lebih jelas,. Walaupun tentnya masih mencari. Tapi paling tidak, mereka punya pegangan yang dalam arti tertentu punya titik pijak untuk melangkah lebih jauh.

RP Odemus Bei Witono, SJ
Bagaimana dengan retret panggilan?

Kalau retret panggilan (menjai imam, bruder, dan suster) tentu ada. Semacam ibadat panggilan. Saya sendir produk Civita juga dan saya terpanggil. Ibada Panggilan, kami buat untuk siswa-siswi supaya mereka juga terpanggil. Bukan hanya dipanggil namanya, tetapi terpanggil untuk melakukan hal-hal khusus dan “radikal”, memilih dan melayani Tuhan secara total. Kami tidak mengarahkan, tapi ada bagian yang sifatnya tawaran. Karena kita berhadapan dengan tawaran hidup yang umum, padahal ada cara hidup yang seperti ini. Kehidupan membiara, kami masukkan sebagai tawaran alternatif, pilihan. Yang paling terasa peserta di tingkat SMP, supaya dia bisa masuk Seminari menengah atau siswa SMA supaya bisa masuk KPA (Kelas Persiapan Atas) di Seminari Menengah.

Apa yang perlu direfleksikan tentang Civita setelah 40 tahun?

Civita (ci= air, vita=kehidupan) adalah tempat di mana orang bisa menggali dan menimba air kehidupan. Air kehidupan adalah air di mana Tuhan sendiri membantu orang untuk kembali kepada-Nya. Sebetulnya, air kehidupan itu ada dan ditawarkan kepada manusia supaya selamat. Civita adalah tempat di mana pra pendamping menemani mereka supaya mempunyai orientasi hidup. Dengan demikian mereka punya arah yang jelas menuju jalan keselamatan.

Keselamatan dalam arti dia tahu dan sadar tanggung jawab atas kebebasannya, kemudian menyadari dirinya bahwa dirinya punya kelemahan dan kekuatan, tapi yang esensial adalah keselamatan itu akhirnya menuju pada keselamatan yang sesungguhnya, yaitu bertemu dengan Tuhan. Jadi, sederhananya, para pendamping di sini ingin mengajak para retretan itu kembali kepada Tuhan sebagai sumber dari segala kehidupan itu sendiri.

Amadea Panastiti | JEJAK Hidup Katolik, edisi 2 Februari 2014


Artikel Pilihan
Sebelumnya
Next Post »