Oleh: RD. Lili Tjahjadi
“Tage der Jugend vergehen, schnell wird
der Jüngling ein Man
Träume der Jugend verwehen, dann fäng
das Leben erst an.”
(Berlalu
sudah hari-hari masa muda, dengan cepat sang anak menjadi dewasa
Impian
masa muda pun telah sirna, berganti hidup mulai nyata – Heintje)
Itulah cuplikan dari lagu pop Jerman “Mama” yang dinyanyikan oleh Heintje,
penyanyi kanak-kanak asal Belanda, awal tahun 1970-an. Lagu ini diputar pada
ibadat pagi hari terakhir sebelum kami pulang sesudah makan siang nantinya. Ini
salah satu lagu yang saya kenang dari retret kami putri-putra altar paroki
Mangga Besar, di Civita pada bulan Juni 1977, selama empat hari dua malam.
Tentu saja waktu itu tak ada seorang pun dari kami bisa bahasa Jerman. Namun P.
Zahnweh, SJ, “papa kami yang baik”—ditemani Sr. Carolie, CB, sang “mama yang
baik”—telah menerjemahkan dan meperdengarkan lagu itu untuk kami.
Lagu itu dimaksudkan sebagai lagu perutusan,
bahwa kami harus besar hati dan menjadi dewasa, menghadapi hidup nyata. Kami
diberi pesan, bahwa kami memang kadang tidak tahu, kemana Tuhan memimpin. Namun kami yakin, bahwa Dia akan memimpin kami dalam hidup!
Sekarang sudah 37 tahun berlalu, sejak lagu
itu saya dengar untuk pertama kali. Tapi kenyataan, bahwa saya masih ingat
lagu-lagu dan peristiwanya, menunjukkan, bahwa Civita memberi kesan dalam di
hati saya. Saya kiranya tidak sendirian. Setidak-tidaknya beberapa teman lama
masih ingat juga dengan tempat itu, tidak selalu jelas memang, terkadang
samar-samar. Tapi setidaknya nama Civita (gabungan kata Sunda cai = “air” dan kata Latin vita = “hidup”, maka “air hidup”, simbol
Kristus sendiri bdk. Yoh 4: 1-15) adalah sebuah “merek” untuk kami.
Apakah dari Civita yang membuat generasi
kami, setidaknya saya, merasa sangat terkesan? Saya melihat, paling tidak ada
tiga hal: pengalaman akan Allah, liturgi yang hidup dengan musik pop, dan
komunitas.
1. Dasar: Pengalaman akan
Tuhan
Waktu akan dibaptis, saya sebagai remaja
ditanya oleh pastur: “Percayakah saudara akan Allah, Bapa yang Mahakuasa,
Pencipta langit dan bumi?” Kalau calon baptisnya adalah seorang bayi,
pertanyaan yang sama diajukan oleh pastur kepada orang tua dan wali baptis.
Tentu saja pada saat seperti itu jawabannya adalah positif. Tapi salah satu
dari dua belas pertanyan syahadat itu sendiri sudah memuat banyak hal sulit
untuk dipercaya: “Allah”, “Bapa”, “Mahakuasa”, “Pencipta”, dan “Langit dan
bumi”. Tidak ada yang sudah barang tentu jelas dari setiap kata ini. Setiap
istilah memerlukan penjelasan, “terjemahan” untuk zaman dan usia kita.
Tapi untungnya, manusia sudah barang tentu
hidup tidak hanya dari paham, pengertian atau ide saja, melainkan dari gambar yang ia terima secara mendalam
sejak masa mudanya. Maka begitu juga iman kepercayaan manusia tidak hidup dari
kalimat-kalimat syahadat, dogma dan argumentasi, melainkan dari gambar besar
yang telah terbentuk pada batinnya sebagai kebenaran iman. Dan ini mampu
menyapa daya fantasi dan emosinya, maka justru tidak hanya mengena pada inteleknya
serta diskursus kritis-rasional yang dihasilkannya. Manusia beriman tentunya
merupakan pribadi yang terpecah, jika baginya iman merupakan perkara dingin
menyangkut akal budi melulu, tanpa menyentuh keseluruhan kemanusiaannya, ya
hatinya yang terdalam. Hati bisa memiliki alasan-alasan yang tidak dimiliki
oleh pikiran. Dalam hal ini terkadang betul apa yang dikatakan oleh A.
Schopenhauer, filsuf Jerman abad ke-19: “Was
hem Herzen widersterbt, läβt der Kopf nicht ein.” (Apa yang dilawan oleh
Hati, tidak akan diterima juga oleh kepala).
Nah justru pengalaman akan Tuhan itulah yang
mau dibantu ditemukan oleh kami lewat bimbingan para pembimbing. Sejauh skema
pendampingannya tidak berubah, saya ingat, bahwa titik tolaknya adalah pengalaman
akan diri sendiri pada apa yang disebut “Ibadat Nikodemus” pada malam
di hari pertama. Di situ, dalam malam bercahaya lilin, seperti Nikodemus yang
berwawan hati dengan Tuhan Yesus (Yoh 3:1-21), kami retretan diajak berwawan
hati dengan Yesus lewat pengungkapan perasaan secara singkat, misalnya “Tuhan,
saya sedih”, dsb. Perasaan tidak ditolak, melainkan dipakai sebagai pintu untuk
menemui Allah.
Setelah itu, keesokan harinya (hari II), kami
diajak untuk melihat orang-orang di sekitar kami yang kami perhatikan secara
khusus (guru, teman-teman, kakak-adik, terutama tentu saja orangtua). Di situ,
lewat pengalaman akan sesama (guru, teman, dll, terutama orang tua) kepada kami ditunjukkan cinta dan perhatian
mereka, dan lewat mereka kepada Allah sendiri, yang adalah sumber segala kasih.
Hari III merupakan hari di mana kami diajak
melihat apa yang paling menghambat ketidakmampuan melihat dan merasakan
pengalaman cinta itu. Jawabannya ada pada pengalaman akan dosa sebagai sikap
egois, tak tahu terima kasih. Namun kalau manusia berdosa dan berada dalam
keterpurukannya, tetap ada seorang yang menerima kita bukan karena apa yang
kita hasilkan sebagai prestasi, melainkan karena kita apa adanya, putri dan
putra-Nya sendiri. Allah menerima “Being”
kita, mengatasi “Having” kita. Begitulah
lewat kesaksian Kitan Suci (misalnya Lukas 15:1-32), kami dibawa kepada pengalaman
akan kasih dan pengampunan Allah. Ibadat tobat dan penerimaan sakramen
tobat di malam hari merupakan mahkota hari ini. Aneh tapi nyata, setelah ini,
kami bisa tidur nyenyak, padahal pada malam sebelumnya kami biasa ngobrol di
tempat tidur hingga jauh malam, sampai-sampai pembimbing harus mengontrol dan
memarahi.
Hari terakhir, hari IV, adalah hari
pengutusan. Kami diminta memikirkan dan menulis suatu niat untuk diri sendiri
dan “surat cinta” buat orang tua. Sebelum pulang, ada ibadat penutup yang
bagus, di mana masing-masing mempersembahkan kepada Tuhan niatnya dengan
membakar itu pada gentong kecil di depan altar. Selain itu banyak unsur dalam
ibadat itu yang kami bentuk dan ciptakan sendiri: doa pembukaan, barang-barang
persembahan yang kami ambil dari alam (batu-batu, prakarya dari kertas dan
bunga), doa umat, doa persembahan, lagu-lagu, dan doa penutup. Semua ini
membawa kami kepada pengalaman peneguhan sebagai murid-murid kecil yang diutus
untuk membagi pengalaman cinta Tuhan yang kami alami kepada orang lain,
sekaligus penugasan untuk menemukan cinta Tuhan itu juga dalam pengalaman
harian, sebagaimana kami telah lakukan selama retret itu.
Demikianlah akhirnya, lewat metode retret ala
Civita ini, yang di kemudian hari ternyata saya ketahui sebagai metode Latihan
Rohani St. Ignatius Loyola, kami dibawa kepada pegalaman akan Tuhan lewat
pengalaman akan diri sendiri dan sesama.
2. Musik dan lagu Pop
Retet Civita adalah retret khas anak muda
kota besar seperti Jakarta. Salah satu kekhasan hidup anak muda Jakarta adalah
budaya pop. Musik dan lagu pop adalah salah satu bentuk konkritnya. Saya kira,
itu berlaku sampai sekarang juga. “Generasi MTV”, begitulah julukan dari
seorang teman untuk generasi muda kota besar sekarang yang hidup hariannya
kerap diisi dengan menyaksikan program Music
and Television itu.
Tapi itu hanyalah salah satu sisi. Sisi
lainnya adalah kebingungan dan ketidakmengertian mereka akan sikap dari mereka
yang mestinya menjadi panutan dalam menghadapi dunia yang sedang berubah dan
penuh dengan tawaran palsu itu. Para pejabat korup, para agamawan yang kurang
sensibel, bahkan orang tua mereka yang mempunyai seabreg pekerjaan, tapi tak
ada waktu buat mereka. Belum lagi keadaan dalam-batin atau jiwa mereka sendiri
yang tengah bergolak pada masa puber. Akibatnya bisa macam-macam. Pelarian
mereka ke obat-obatan hingga narkoba, menenggak minuman keras, petualangan seks
bebas, dunia gang dan kekerasan, juga
fundamentalisme agama. Yang disebut terakhir ini perlu mendapat perhatian
khusus, sebab ini bisa amat membahayakan, dilihat dari sudut perkembangan iman.
Sebagai
reaksi atas pesatnya perubahan masyarakat dan usaha menemukan orientasi,
kelompok-kelompok fundamentalisme itu pada dirinya sendiri tidak berbahaya.
Hanya ada sementara kelompok yang lalu memutlakkan pandangan dan keyakinannya
sendiri, lalu menjadi agresif dan intoleran terhadap kelompok lain. Mereka itu
ekslusif ekstrim dan melihat kelompok lain sebagai ancaman yang harus
dienyahkan. Kalau demikian kiranya jelas bahwa fundamentalisme ini juga
merupakan tantangan bagi orang muda. Para fundamentalis menawarkan pembebasan
dari segala keragu-raguan, tetapi dengan menutup diri terhadap dunia, menjadi
ekslusif dan anti-rasional. Bukan tidak mungkin mereka juga melakukan
intimidasi, teror fisik atau mental untuk memaksa orang lain menerima
pandangannya.
Kendati
demikian, ada hal positif yang bisa kita timba dari gerakan-gerakan
fundamentalisme, khususnya sebagaimana kelihatan dalam sekte-sekte
fundamentalisme Kristen. Hal-hal positif itu adalah semangat persaudaraan yang
hangat di kalangan mereka (memang sayangnya hanya berhenti di sini, maka lalu
menjadi ekslusif), kesenangan mereka membaca Kitab Suci dan menggali inspirasi
dari situ untuk kehidupan sehari-hari (awas, bahaya legalisme Kitab Suci!) dan
liturgi mereka yang menyapa secara pribadi, juga kesadaran misi mereka yang
tinggi. Jadi, mungkin benar bahwa pertumbuhan fundamentalisme itu untuk sebagian
akibat kesalahan ”Gereja resmi“ sendiri, misalnya liturginya terlalu formal,
kaku dan apersonal, seakan-akan kita tidak sanggup menimba air rohani yang
sebenarnya ada dan berlimpah ruah dari khazanah kekayaan spiritualitas dan
liturgi Gereja Katolik.
Nah,
salah satu segi menarik dari program retret Civita adalah justru liturgi yang
hidup itu, dengan musik pop sebagai salah satu elemen pentingnya, baik musik
dan lagu pop “sekuler” maupun pop rohani. Ibadat-ibadat yang tadi telah disebut
di atas, justru terasa menyentuh karena memakai sarana yang dekat dengan orang
muda, yaitu musik dan lagu pop. Saya masih ingat beberapa lagu pop dengan lirik
bagus yang diperdengarkan kepada kami Lagu “Nobody’s
Child” (Mel Foree), “Child” (Freddy
Aquilar), “The Lonely Sheperd” (instrumental), “Move on” (Abba), “I don’t
know how to love Him” (Yvonne Elliman) dan “Mama” (Heintje) adalah beberapa lagu “sekuler” waktu itu yang
membantu kami mengenali keadaan kami luar dan dalam.
Adapun
lagu-lagu pop rohani adalah “What a Friend
we have in Jesus”, “Nearer my God, to Thee”, “Transcend, Glorious, Purify”,
dan beberapa lagu Persekutuan Doa Kharismatik yang waktu itu sedang gencar
dipromosikan di tahun 1977-an, kendati bukan tanpa kontroversi dan resistensi
umat. Dibandingkan dengan beberapa lagu dalam Madah Bakti yang melodi dan liriknya begitu indah dan susastrawi,
sehingga sulit diikuti dan ditangkap oleh kami sebagai remaja waktu itu
(misalnya, “Di Pulau Samadi”, “Melayang
Daun Sabda”, “Kita bagai Kelana”, “Teruntai Sulur”), lagu-lagu pop rohani
itu lebih mudah dimengerti liriknya, melodinya pun sederhana. Pesannya personal
dan memiliki spiritualitas kepasrahan, mengikuti Tuhan sebagai orientasi hidup.
By the way: Sekarang,
setelah 37 tahun berlalu, saya masih bertanya-tanya, mengapakah nyaris semua
lagu itu berbahasa Inggris? Apakah untuk masuk lewat pintu dunia kami, anak
kota Jakarta yang sedang getol
mempelajari bahasa itu? Atau bisa jadi lantaran P. Zahnweh, SJ memang tidak
kenal adanya lagu-lagu pop berbahasa Indonesia yang juga bagus lirik dan
melodinya? Jawabannya kiranya berbunyi: “Coba
kita bertanya pada rumput yang bergoyang!” (Ebbiet G. Ade)
3. Komunitas
Dari
sudut pandang psikologi tidak ada keraguan: Perkembangan kognitif dan kesehatan
mental anak ditentukan oleh ada-tidaknya ikatan,
padanya ia percaya dan dengannya ia merasa aman dan diterima. Komunitas
memberikan “ruang dan waktu” untuk kebutuhan itu. Ada komunitas keluarga,
komunitas rekan sekolah atau komunitas rekan hobi.
Hal
yang sama berlaku untuk perkembangan iman. Komunitas para murid Yesus atau
Gereja dalam arti luas merupakan kampung halaman rohani dari orang beriman. Di
situ ia dilahirkan dan ke sana ia biasanya ingin pergi juga akhirnya, sejauh
keadaannya mungkin. Tuhan dialami di dalam komunitas, bukan di luarnya. Rasul
Tomas mengalami Yesus dan menemukan imannya kembali akan Dia sebagai “Tuhanku
dan Allahku” di dalam komunitas para Rasul seperti dirinya. Kita tak tahu, apa
jadinya Tomas dan imannya, seandainya saja ia berpisah dari mereka dan tidak
memiliki keseperasaan dengan mereka.
Selama
retret di Civita, ada ruang dan waktu untuk kebersamaan dan juga diri sendiri.
Di sini ada komunitas. Pengalaman akan komunitas di sini amat intensif. Makan,
cuci piring, bermain, diskusi, berdoa, beribadat, berolah-raga, outbound, bercanda, termasuk bikin iseng; semuanya dilakukan secara bersama
atau di dalam kebersamaan. Bagi mereka yang mengalami intensitas hidup
komunitas seperti ini, memori akan Civita sulit sirna. Tapi apakah masih
memiliki daya gigit untuk me(re)motivasi pribadi-pribadi yang sudah pernah
dibentuk olehnya?
Dalam
peringatan syukur di usianya yang ke-40 ini, sudah waktunya para pembina Civita
memikirkan hal itu secara baru, termasuk cara-caranya: Perlukah pembentukan
“alumni Civita” untuk memudahkan penyelenggaraan kaderisasi baru? Adakah
paket-paket program baru yang merupakan pengluasan bidang pembinaan orang muda,
setelah retret ala Civita yang terkenal itu? Paket kaderisasi politik sejak
masa remaja? Paket spiritualitas lingkungan hidup? Adakah peningkatan dan
pembaruan kerjasama dengan banyak pihak terkait menyangkut pembinaan spiritual
bagi orang muda: sekolah-sekolah, BIR, komisi-komisi di Keuskupan?
Beberapa
pertanyaan ini kiranya bisa menjadi impuls bagi Civita Youth Camp meremajakan dirinya terus menerus, kendati usia
40 tahun sebenarnya sudah bukan remaja lagi.