Oleh Sr.
M. Ferdinanda Widya P, PBHK
![]() |
Sr. M Ferdinanda Widya, PBHK |
Bukanlah
suatu kebetulan kongregasi mengutusku ke Civita Youth Camp selama kurang lebih
empat bulan, setelah aku menyelesaikan studi di IPPAK-USD (). Dengan sukacita
dan gembira aku menuju ke Civita Youth Camp, sebagai bentuk kesiapanku terlibat
secara optimal dalam karya kongregasi yang lebih khusus menangani pendampingan
rekoleksi dan retret bagi kaum muda di rumah retret kami.
Keterbukaan dan persaudaraan ala
komunitas Civita ini menjadi sarana bagiku untuk makin mengembangkan kematangan
pribadi, panggilan dan perutusanku. Hidup dalam komunitas yang heterogen
menjadikan saat bagiku belajar bagaimana seni hidup bersama dalam suatu
perbedaan. Perbedaan menjadi seni karena masing-masing dari kami memiliki
kesempatan untuk mengukir, mengeksplorasi, mengungkapkan dan mengapresiasi
lewat kelincahan sikap yang penuh dengan canda dan tawa sebagai pribadi yang
dewasa. Ketika terjadi kesalahpahaman, kami mengungkapkan hal tersebut dengan
suasana yang lebih rileks dalam makan bersama kami di meja bundar dan meja
persegi panjang. Meja inilah menjadi sarana dan tempat bagi kami untuk
mengungkapkan kegembiraan, keletihan, kritik yang membangun, ide-ide baru dan
juga humor-humor segar yang senantiasa meluncur keluar dari pikiran dan mulut
kami. Rasanya tak pernah ada waktu singkat saja untuk kami saling berdiam diri
dan membisu jika kami telah duduk mengelilingi meja bundar dan meja persegi
panjang. Pasti selalu ada gelak tawa dan canda ria, ringan lepas dan
menyegarkan.
Keterbukaan dan persaudaraan ala
komunitas Civita, juga terasa saat kami melakukan ibadat harian bersama.
Kesatuan hati dari masing-masing dengan Sang Pencipta terungkap dalam
gerak-gerik liturgi yang kaya makna yang disajikan dalam untaian doa dan
kehadiran mereka. Fr. Nico dan Sr. Helena yang lihai dengan bermain organ, Fr.
Eddy yang memiliki “suara emasnya” sehingga kadang terdengar nada-nada baru
yang tiba-tiba muncul tanpa terkendali, hal ini sangat mewarnai ibadat harian
sehingga sungguh hidup. Fr. Nando dengan wajah polosnya yang rajin mendoakan
harapan-harapan dari para retretan dan Sr. Emma yang tak pernah mahal dalam
memberikan suara indahnya sehingga semakin menambah semarak dan hangat rasanya
ruang doa kami serta Romo Budi yang sangat tenang dan inspiratif dalam
memberikan homili saat misa komunitas atau misa bersama para retretan. Ingin
rasanya berlama-lama dan tak beranjak dari ruang doa yang kecil nan mungil
tersebut.
Dalam
kesibukan pelayanan pendampingan retret bagi orang muda, kami masih sempat
untuk mengambil waktu dan ruang bagi perjumpaan dengan Sang Pencipta secara
pribadi. Di Civita inilah masing-masing dari kami belajar menjadi lebih dewasa
dan matang dalam membagi waktu pribadi, bersama dan karya. Di tempat inilah
kami belajar mengambil jeda, berani mundur baik untuk diri sendiri, untuk
sesama dan untuk Tuhan secara lebih seimbang. Kami masing-masing dengan
kerelaan hati menghargai dan menghormati waktu-waktu khusus yang memang
dibutuhkan dari kami masing-masing untuk dapat berkumpul bersama dengan
saudara-saudari sekongregasi. Di kesempatan lain ketika kami mengalami
kepenatan dan kelelahan setelah melayani retretan orang muda, Romo Budi dengan
pembawaan yang khasnya (cool, penuh
pemahaman) mengajak kami untuk mengalami suasana lain di luar Civita. Biasanya
kami jalan dan keluar dari kepenatan dalam pelayanan sehingga mendapatkan oase
yang menjadi kekuatan untuk melayani kembali orang-orang muda yang membutuhkan
oase rohani. Di Civita, kami belajar mencari keseimbangan agar pelayanan makin
berkualitas, bermutu dan berdaya ubah atas kesadaran diri dari perjumpaan
dengan Tuhan yang mencinta.
Kebersamaan
dan keseimbangan hidup religius ala komunitas Civita mendorongku, mengembangkan
pikiran dan kreativitas diri pada pelayanan terhadap orang-orang muda akan
hal-hal baru, sehingga pendampingan memiliki makna membarui diri yang
terus-menerus. Upaya mengasah ketrampilan untuk makin percaya diri mendapat
tempat yang sangat luas dan keberanian diri menerima masukan-masukan yang baik
demi perkembangan pelayanan juga menjadi tanah subur bagi kematangan pribadi
dan pelayanan yang optimal. Sr. Emma, menjadi sumber air yang menyegarkan yang
tak pernah henti kami timba. Sr. Emma adalah sumber inspirasi baru bagi kami
untuk siap melayani para retretan dan beliau juga siap menerima hal-hal baru
dari kami yang masih muda dalam pelayanan retret. Dalam hal seperti inilah learning by doing bergulir dalam
pelayanan kami.
Pernah
suatu ketika aku memimpin salah satu sesi yang dimulai dengan bernyanyi
“Hallo-hallo apa kabar” (ini lagu kesayangan kami). Tiba-tiba dalam memberi
contoh ada nada yang kurang tetap sehingga membuatku tidak bisa menghentikan
nanyian tersebut dengan cantik. Pada saat itu aku melihat Fr. Nico dan Fr. Eddy
duduk di belakang sambil tersenyum karena melihatku seperti kepiting yang
direbus dan siap santap. Tapi situasi ini tak membuat ku kehilangan akal,
dengan spontan aku meminta mereka maju untuk ikut terlibat dalam memberi contoh
pada para retretan. Dan setelah itu, aku meneruskan sesi bersama mereka dan
berjalan dengan lancar. Terima kasih fraer mulai saat itu aku tak pernah lupa
dengan nyanyian tersebut.
Selama
aku tinggal dan mengalami hidup bersama, Civita menjadi tempat yang baik bagi
orang-orang muda untuk menimba pengalaman akan Allah. Allah yang mencinta,
Allah yang peduli, Allah yang kreatif membarui hidup mereka dan juga kami yang
mendampingi mereka. Di Civita orang muda diajak menyadari dirinya pada posisi
sentral untuk mengembangkan integritas dirinya agar menjadi manusia yang
beriman dan berkarakter mulia, sehat, cakap, kreatif, inovatif, dan mandiri.
Terima
kasih Civita, semoga semakin berbenah dalam usia yang semakin matang dan dewasa
serta menjadi pijar kasih Tuhan yang tak pernah redup memancar terang dalam
pelayanan pada orang muda yang membutuhkan pembaruan hidup rohani dan
kepribadian. Jayalah Civita. Salam kasih dari Hati Kudus dan Bunda Hati Kudus
Sr. M. Ferdinanda Widya P,
PBHK