Oleh Odemus Bei Witono, SJ
Direktur Civita Youth Camp
Tahun
1970-an Jakarta bertumbuh dan berkembang sebagai kota metropolitan. Pembangunan
berlangsung di banyak titik wilayah Jakarta. Perkembangan Jakarta yang pesat
membuat banyak orang dari kampung-kampung berbondong-bondong ke Jakarta. Arus
urbanisasi meningkat tahun demi tahun. Meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta
tentunya dapat mempengaruhi perilaku masyarakat urban di Jakarta. Mgr. Leo
Soekoto, SJ merasa penting di tahun-tahun itu
membuat tempat pembinaan untuk
orang muda yang letaknya tidak jauh dari Jakarta. Pada tahun 1974 Uskup Agung
Jakarta kemudian mengutus Romo Zahnweh, SJ dan sahabat-sahabatnya yaitu Sr.
Caroline, CB dan Ibu Bernadett untuk membuat tempat pembinaan rohani orang muda
Katolik. Tempat itu kemudian diberi nama Civita (Air Kehidupan), ci (cai,
Sunda) artinya air dan vita (Latin)
artinya kehidupan. Civita dibangun supaya orang muda Katolik dapat menimba air
kehidupan. Dengan air kehidupan, orang muda Katolik diharapkan semakin
mencintai Tuhan dan sesama dengan lebih tulus.
Waktu terus berjalan. Jakarta
semakin berkembang menjadi kota metropolitan yang kompleks. Dalam situasi yang
kompleks tersebut, banyak orang muda yang jatuh dalam arus kehidupan hedonis
yang menyesatkan. Banyak orang muda yang kehilangan orientasi hidupnya. Hidup lebih
dilihat sebatas permainan. Mereka sudah dicekoki dengan budaya instan yang
menipu. Banyak orang tua kehabisan akal menangani kenakalan anak-anak mereka.
Tidak sedikit di antara mereka kemudian membiarkan anak-anaknya dididik oleh
lingkungan yang tidak baik. Hal ini sungguh tragis, generasi muda tanpa
karakter. Indikasinya begitu banyak anak muda yang terlibat narkoba dan
pergaulan bebas. Ketua KPPA (Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak) kabupaten Ponorogo, pada Jumat, 17 Desember 2010 mengumumkan hasil survey
selama enam bulan bahwa 80 % remaja putri di Ponorogo pernah melakukan hubungan
seks pranikah. Angka ini sungguh mengejutkan, bukan? Bagaimana dengan
putri-putri yang tinggal di Jabotabek, tidak kalah mengerikan angkanya, yaitu
51 % sebagaimana data dirilis oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional).
Selain kasus hubungan seks di
kalangan remaja, kasus-kasus aborsi yang dilakukan orang muda pranikah di
Indonesia juga membuat kita merinding dan merasa malu sebab angkanya begitu
tinggi, yaitu sekitar 70.000 kasus setiap tahunnya (bdk. Parawansa, 2000).
Orang muda yang terlibat kasus seks bebas dan aborsi ternyata memunyai
keberanian merusak tradisi kehormatan dan tatanan moralitas yang terjadi di
masyarakat. Orang muda yang tidak mendapat pendampingan secara tulus penuh
kasih cenderung nekat melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma
moral. Tidak sedikit pelaku kasus-kasus ini merupakan korban dari keluarga yang
berantakan.
Keterberbatasan waktu dan kemampuan
orang tua memilihkan sekolah yang bermutu baik kerap menjadi sumber masalah.
Orang tua kerap begitu saja percaya bahwa lembaga-lembaga sekolah yang baik
dapat membantu mengatasi kesulitan menangani anak-anak mereka. Mereka tidak
sadar bahwa banyak sekolah di Indonesia memanipulasi akreditasinya lewat
berbagai cara demi pencitraan. Air mata guru sebagai saksinya bagaimana banyak
sekolah melakukan kecurangan dalam menghadapi UN (Ujian Nasional). Wajah
pendidikan kita masih carut-marut dengan keborokan sekolah-sekolah. Guru-guru
ideal yang memunyai cita-cita luhur mengajar dan mendidik anak-anak bangsa
sekarang sulit dicari. Tidak jarang guru-guru sekarang menjadi bahan tertawaan
murid-murid mereka sediri. Ada yang bilang “guru
matre, culun, killer, penipu, tukang kasih contekan, dan pemalas.”
Dalam situasi yang carut-marut
inilah orang muda kita bertumbuh. Saya kira Gereja perlu bergandengan tangan
mengatasi masalah-masalah orang muda. SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia) 2005 menyinggung masalah komunitas basis. Komunitas basis tidak
hanya menyangkut teritorial Gereja tetapi juga kategorial. Kategorial kaum muda
banyak dikaitkan bagaimana mereka dikader oleh Gereja sebagai orang muda
Katolik yang dapat diandalkan, siap menjadi garam dan terang dunia. Orang muda
Katolik diharapkan menjadi salah satu fokus Gereja dalam melayani mereka.
Potensi-potensi yang telah dimiliki Gereja hendaklah dimanfaatkan
seluas-luasnya. Kita dapat membina orang muda lewat pelayanan pendidikan yang
bermutu, konseling-konseling, bina iman anak dan remaja, OMK (Orang Muda
Katolik), KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik), dan PERSINK (Persaudaran Siswa
Negeri Katolik).
Gereja dalam arti bangunan memanglah
penting. Akan tetapi apa artinya kalau ke depannya gedung gereja mejadi kosong
sementara umatnya sibuk dengan urasan-urusan sendiri yang bersifat duniawi.
Bangunan gereja idealnya merupakan tempat bertemunya umat beriman. Persekutuan
umat beriman yang berkumpul di gereja kemudian berdoa bersama. Doa-doa mereka
bermula dari kehidupan sehari-hari yang memuncak dalam perayaan Ekaristi. Buah
dari Ekaristi yang diharapkan adalah semakin beresnya relasi kita dengan Tuhan,
sesama, lingkungan, dan diri sendiri. Oleh karenanya pembinaan umat beriman
khususnya untuk orang muda Katolik menjadi sangat penting.
Orang muda Katolik adalah harapan
Gereja masa depan. Mereka perlu ditemani mengenal Tuhan lewat tradisi Gereja
dan ajaran iman. Orang muda Katolik diharapkan sejak masih anak-anak
diperkenalkan dengan Kitab Suci. “Dengan
apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai
dengan firman-Mu.” (Mzm 119:9). Dalam keluarga-keluarga muda, pembacaan
Kitab Suci perlu diperkenalkan ke anak-anak sejak dini. Ada ruang-ruang
kesempatan dalam keluarga di mana setiap anggota keluarga dapat dengan bebas
menyampaikan sharing refleksi atas
Firman Tuhan. Ayah atau ibu dalam keluarga diharapkan menjadi penggerak
pendalaman iman dalam keluarga. Kalau itu dapat dilakuan secara
berkesinambungan, orang muda Katolik sudah memunyai modal awal menjalani hidup
Kristiani yang kemudian diharapkan mereka juga dapat terbiasa menjadi pelaku
Firman sejak muda.
Selain belajar Kitab Suci, orang
muda kita perlu mendapat peluang belajar mengenai tradisi Gereja. Orang muda
Katolik mulai diperkenalkan dengan istilah sakramen-sakramen, ajaran-ajaran
iman, dan kegiatan-kegiatan liturgi gerejani. Banyak Paroki di Jakarta mau
melibatkan orang muda di dalam kegiatan-kegiatan gerejani. Hal ini merupakan
hal yang baik. Aneka kegiatan gerejani yang melibatkan orang muda Katolik dapat
membuat Gereja semakin semarak dan bermakna.
Setahun sekali paling tidak orang
muda perlu menarik diri dari segala rutinitas. Dalam menarik diri, orang muda
dapat mengambil kesempatan untuk mengikuti retret atau rekoleksi. Kegiatan
retret dapat dilakukan secara pribadi maupun berkelompok. Kegiatan semacam itu
membantu umat khususnya orang muda untuk merefleksikan kehidupan mereka untuk
semakin beriman kepada Tuhan. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan rohani semacam
itu, seperti yang disuarakan SAGKI 2005, habitus
baru untuk membangun keadaban publik, orang muda Katolik dapat berkembang
dengan baik.
Beruntung sekali umat di Keuskupan
Agung Jakarta memunyai rumah pembinaan orang muda Katolik, Civita Youth Camp. Civita
Youth Camp memunyai Visi: “Tercapainya
pelayanan rohani kepada orang muda secara profesional dan berlandaskan kasih.” Misi
Civita: “Membantu proses pencarian jati
diri dan arti hidup orang muda yang ingin mengenal dirinya lebih dekat dalam
konteks sesama dan keberadaanya di hadapan Sang Pencipta.” Civita Youth Camp
dapat digunakan oleh orang muda Katolik untuk mengadakan kegiatan rekoleksi,
retret, dan kaderisasi. Civita Youth Camp,
sebagai tempat pembinaan orang muda Katolik diharapkan mampu melayani
kelompok-kelompok orang muda itu kegiatan-kegiatan rohaniah yang bermanfaat.
Semoga retretan setelah pulang dari Civita
Youth Camp semakin dapat menjadi manusia bagi sesamanya. Semoga di usianya
yang ke-40 tahun Civita Youth Camp
semakin maju sebagai tempat pembinaan orang muda Katolik.