P. A. Budi Nugroho, SJ
Direktur Civita 2011-2103
Ketika
saya berkarya di Civita dalam kurun 2011-2013, ada salah satu sisi kebun Civita
yang kurang terolah. Tempat itu kemudian dijadikan penampungan pembuangan
lumpur kolam Civita. Lumpur itu menutupi seluruh areal kebun tersebut. Beberapa
saat lamanya, kebun yang dipenuhi lumpur itu tidak bisa diolah sama sekali.
Saya sempat pesimis apakah kebun itu
bisa ditanami sesuatu. Beberapa pohon yang
ada disekitarnya ternyata mengiring dan mati. Kurang lebih selama setahun, kebun
itu dibiarkan tidak disentuh dan diolah.
Tapi,
kebun itu tidak pernah luput dari perhatian kita. Kami mulai melihat
tanda-tanda bahwa lumpur di kebun itu sudah mulai mengiring sehingga bisa
diinjak. Setelah itu suster dan empok-empok
berinisiatif membuat jalan setapak dari material bangunan yang tidak digunakan.
Jadilah jalan setapak yang melewati kebun berlumpur itu. Pak Markus yang
bertangan dingin mulai mengolah dengan penuh kesabaran. Ia membuat
petakan-petakan dari tanah yang berlumpur itu. Perlu usaha keras untuk
mengolahnya. Setelah itu, suster mulai membelikan bibit tanaman sayur dan buah
untuk ditanam. Bibit disemai dan lahan disiapkan. Tanah berlumpur itu ditaburi
pupuk organik yang cukup berlimpah di Civita. Kesabaran dan tangan dingin Pak Markus
serta perhatian dari suster mulai membuahkan hasil. Beberapa jenis tanaman
bertumbuh subur di bekas tanah berlumpur itu. Kami mulai memetik panen yang
pertama. Ada terong, ada tomat, ada gambas dsb. Kebun berlumpur yang dulunya
tampak tidak memberikan harapan adanya kehidupan seiring berjalannya waktu
disertai proses pengolahan telah menghasilkan buah-buah kehidupan.
Apa
yang terjadi dengan kebun Civita itu membantu saya untuk menggambarkan proses
pembinaan yang berlangsung di Civita. Menggarap lahan pastoral anak muda tidak
pernah bisa menuai hasil seketika. Proses adalah kata kunci dalam
pembinaan kaum muda. Civita berperan untuk menaburkan benih-benih kehidupan.
Namun, butuh proses sampai benih kehidupan itu siap dituai. Saya menyarikan
kekhasan pembinaan di Civita dalam kata SIAPP yakni: Singing, Internalizing, Actuating, Praying, Playing.
Singing: Menyanyikan Lagu Kehidupan
Sebelum
anak-anak yang akan mengikuti kegiatan pembinaan datang, Civita dalam keadaan
sunyi. Yang terdengar adalah kicauan burung dan desiran angin yang menerpa
ranting pohon. Kesunyian itu pecah ketika anak-anak mulai berdatangan. Beberapa
saat kemudian, terdengar bersahutan antara Civita I dan Civita II lantunan lagu
“Halo-halo Apa Kabar...!!” Kemudian
terdengar riuh rendah tawa anak-anak. Mulailah aktivitas kehidupan anak muda di
Civita. Selama di Civita anak-anak muda mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu
kehidupan.
Anak-anak yang pernah mengikuti retret
di Civita pada kurun tahun 1970-an hingga 1980-an pasti punya kenangan
dengan lagu-lagu Civita. Lagu-lagu seperti Morning
Has Broken atau iringan instrumental Lonely
Sheperd pasti masih bisa membangkitkan kesan akan retret di Civita.
Lagu-lagu yang diperdengarkan itu berisi syair-syair tentang kehidupan yang
menjadi bahan permenungan bagi anak-anak muda. Lagu kehidupan itu mengajak anak
muda menyadari kehidupannya di dunia ini.
Dengan
tahap perkembangan seturut teori kognitif Jean Piaget, anak-anak muda ditandai
dengan kemampuan berpikir operasional formal. Artinya, anak-anak muda sudah
mampu membuat hipotesa, membentuk generalisasi dan memperlihatkan abstraksi
berpikir.[1]
Sebagaimana disampaikan oleh Shelton, anak-anak muda sudah mampu memikirkan
hal-hal terkait dengan kehidupan. Anak-anak mulai mempertanyakan iman
kepercayaan mereka. Mereka bertanya tentang makna dan arti Tuhan dan
nilai-nilai pribadi.[2]
Karena itu, kami dituntut untuk penuh kesabaran menemani kaum muda yang
bertanya dan bersikap kritis. Itulah lagu kehidupan anak muda yang perlu kami
dengarkan.
Internalizing: Membatinkan Nilai-Nilai
Kehidupan
Menangani
kaum muda bukanlah hal yang mudah. Sarlito Wirawan salah seorang psikolog
remaja mengungkapkan ada lima aturan dalam menghadapi kaum muda dan masalahnya.
Pertama adalah trustworhiness
(kepercayaan), yaitu perlunya saling percaya dengan kaum muda yang dihadapi.
Kepercayaan adalah landasan untuk bisa berkomunikasi dengan kaum muda. Kedua, genuineness yakni maksud murni, tidak
pura-pura. Ketiga adalah empati yakni kemampuan merasakan perasaan-perasaan
kaum muda. Keempat adalah honesty
atau kejujuran.[3]
Yang menurut Sarlito sangat penting adalah pandangan dari pihak kaum muda bahwa
kita memang memenuhi keempat aturan tersebut.[4]
Saya
teringat akan salah satu sesi di mana
peserta retret diminta untuk berbagi pengalaman suka dan duka dalam hidup
mereka. Saat itu, apa yang diminta oleh pendamping tidak bisa dipenuhi. Semua
anak diam dan tidak ada satupun yang mau berbagi kisah di antara mereka. Perlu
waktu dan proses yang cukup alot sehingga mereka akhirnya mau berbagi kisah
hidup mereka. Hal itu memperlihatkan bahwa kaum muda perlu merasa aman dan
nyaman terlebih dahulu. Untuk itu, dibutuhkan kesabaran untuk membangun
kepercayaan di antara para peserta dengan pembimbing dan antara peserta dengan
teman-teman mereka sendiri.
Dunia
kaum muda adalah lahan garapan Civita. Benih-benih nilai kehidupan dicoba untuk
ditaburkan. Salah satunya adalah kejujuran. Dalam dinamika retret di Civita,
ada acara evaluasi di awal hari. Peserta retret diminta untuk memberi penilaian
terhadap komitmen mereka. Mereka telah berkomitmen untuk hening, disiplin, dan
kerjasama. Dalam evaluasi hari pertama, umumnya mereka memberi penilaian yang
tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah berproses dan diajak untuk
menyadari keadaan, akhirnya mereka bisa memberikan penilaian yang lebih jujur.
Selain
membantu dalam pembatinan nilai-nilai kehidupan, pembinaan di Civita membantu
peserta untuk membentuk gambaran tentang dirinya. Modul retret Civita yang
klasik yakni Who Am I?
(Siapakah Aku Ini?)
telah sekian tahun diterapkan. Kendati sudah disesuaikan dengan situasi saat
ini, tema tersebut masih sangat aktual dan relevan bagi dunia anak muda.
Anak-anak muda yang berkegiatan di Civita adalah mereka yang sedang berproses
menemukan jati diri.
Di
Civita, kaum muda diajak untuk melihat diri secara objektif (self objectivication). Proses
objektivikasi diri diperlukan bagi perkembangan pribadi menuju kedewasaan.[5]
Proses ini ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri
sendiri (self insight) dan kemampuan
untuk menangkap humor (senses of humor).[6]
Berkaitan dengan wawasan tentang diri sendiri, kaum muda diajak untuk melihat
segi positif dan negatif. Lalu, mereka diajak untuk membuat lambang atas
dirinya. Di dalam kelompok lalu mereka menyatukan lambang-lambang diri mereka
dalam sebuah cerita. Untuk menumbuhkan senses
of humor, ada sesi di mana
anak-anak diajak untuk membuat cerita lucu dan membagikan cerita lucu mereka.
Actuating: Mengaktualkan Nilai
Kehidupan
Masalah kaum muda disebabkan oleh
konflik peran sosial.[7]
Di satu pihak mereka sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia
masih harus terus mengikuti kemauan orang tua.[8]
Konflik peran sosial itu terlihat dalam diri mereka yang duduk di SMA. Rasa
ketergantungan pada orang tua di kalangan anak-anak Indonesia lebih besar lagi,
karena memang dikehendaki demikian oleh orang tua.[9]
Konflik peran sosial muncul ketika diadakan dinamika konsultasi dengan
pembimbing. Salah satu soal yang mencuat adalah pertentangan mengenai jurusan
studi yang hendak dipilih selepas SMA.
Untuk
menyadarkan kaum muda akan adanya konflik peran sosial itu, dalam salah satu
dinamika retret SMA diangkat tema kebebasan dan nilai. Dalam dinamika tersebut,
diadakan role playing atau bermain
peran. Ada kelompok yang berperan sebagai orang tua dan ada yang berperan
sebagai anak. Anak diminta untuk membuat daftar tuntutan mereka terhadap orang
tua dan juga sebaliknya. Dengan bermain peran mereka semakin sadar akan konflik
peran sosial itu. Dari situ, mereka pun
belajar melihat persoalan dari sudut orang tua.
Sarlito
menunjukkan bahwa konflik peran sosial bisa menimbulkan gejolak emosi dan
kesulitan-kesulitan pada kaum muda. Hal itu bisa dikurangi dengan memberi
latihan-latihan agar anak menjadi mandiri.[10]
Nilai kemandirian sungguh diaktualkan dalam pembinaan di Civita. Bahkan
kelompok yang paling muda (Anak Kelas V-VI SD) diajak mengalami kemandirian.
Anak yang sedang melakukan pembinaan di Civita tidak diperkenankan ditunggu
oleh orang tua mereka. Selama di Civita, mereka harus makan sendiri, cuci
piring sendiri, merapikan tempat tidur sendiri dsb. Nilai kemandirian yang
diaktualkan dalam dinamika di Civita diharapkan agar membantu anak memilih
jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap.[11]
Aktualisasi diri menjadi
bagian proses penemuan jati diri dan pembentuk konsep diri, maka pembinaan di
Civita memberi keleluasaan kaum muda untuk mengekspresikan diri. Kata ‘eksis’
sering muncul dari kaum muda. Mereka ingin ‘eksis’. Dengan itu, mereka ingin
diberi ruang untuk menunjukkan siapa dirinya. Sadar akan situasi dan kebutuhan
tersebut, dinamika pembinaan di Civita selalu memberi ruang berekspresi. Untuk
anak SD, mereka selalu dibuat untuk membuat drama dengan tema kasih kepada
sesama. Di penghujung
pembinaan mereka akan menampilkan drama berjudul Bapak Tulus. Untuk anak SMP, mereka diberi ruang berekspresi dalam
sesi Ekspresi Kebangkitan. Untuk anak
SMA, nilai-nilai yang ditemukan kemudian mereka ekspresikan dalam berbagai
ungkapan. Berbagai bentuk dan ungkapan ekspresi itu disediakan agar kaum muda
dapat mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan.
Praying: Berdoa dalam Kehidupan
Seperti
disampaikan oleh Shelton, salah satu prinsip mendasar bagi kehidupan Kristiani
adalah kebutuhan untuk berdoa.[12]
Yesus Kristus sendiri memperlihatkan bahwa Dia berdoa. Ia pun mengajarkan berdoa
kepada para murid-murid-Nya.
Oleh karena itu, pembinaan kaum muda perlu menaruh perhatian pada pengalaman
doa kaum muda. Pada tahap perkembangannya, kaum muda mulai bertanya soal
iman-kepercayaan, soal makna Yesus Kristus dan Gereja.[13]
Oleh karena itu, bentuk doa juga menyesuaikan diri dengan tahap perkembangan
kaum muda.
Dalam
pembinaan kaum muda di Civita, ada salah satu bentuk doa yang khas. Ada sebuah
acara dalam dinamika yang dinamakan Ibadat Pertanyaan Orang Muda (Ibadat POM).
Dalam Ibadat POM, setiap peserta dipersilakan untuk mengajukan berbagai
pertanyaan dalam dirinya. Peserta diajakan untuk mengajukan pertanyaan mengenai
hidupnya di hadapan
Tuhan. Doa kemudian menjadi pengalaman personal karena muncul dari pergulatan
hidupnya. Untuk menumbuhkan rasa hormat dan bakti kepada Tuhan dibutuhkan hati
yang hening.
Oleh
karena itu, keheningan menjadi unsur dalam pembinaan di Civita. Salah satu cara
yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan peralatan komunikasi (dan elektronik) yang
dimiliki peserta. Karena begitu lekatnya alat komunikasi dengan dunia kaum
muda, maka proses itu seringkali tidak berjalan mulus. Tanpa alat komunikasi
yang menjadi bagian hidupnya, kaum muda bisa merasakan kesepian. Padahal, untuk
mengalami pengalaman doa diperlukan keheningan. Keheningan menuntut peserta
untuk berani mengalami kesendirian. Dalam kesendirian itu, orang bisa mengalami
kesepian. Situasi itu bisa memunculkan kegelisahan dalam diri kaum muda. Oleh
karena itu, bagaimana kaum muda bisa merasakan bahwa kesendirian berbuah
keheningan dan bukan kesepian. Menciptakan suasana hening di antara kaum muda
bukanlah hal yang mudah.
Apakah
dengan demikian, kaum muda tidak bisa mengalami keheningan yang dibutuhkan
untuk berdoa? Ternyata mereka bisa. Saya teringat akan sekelompok anak SMP yang
menjalani retret di Civita. Sekolah tersebut khusus untuk anak laki-laki. Dalam
benak saya, kelompok itu pasti bisa mendatangkan kesulitan untuk hening dan
tenang. Anak laki-laki pasti tidak bisa tenang dan diam. Ternyata, dugaan saya
keliru. Kelompok ini justru sangguh berkomitmen untuk silentium magnum (hening total). Semua aktivitas dan dinamika dijalani
dengan keheningan dan ketenangan. Kelompok ini pula yang memberikan konsolasi
atau penghiburan pada para pendamping. Mereka mampu untuk berefleksi secara
mendalam dan bisa berekspresi dengan begitu kreatif.
Playing: Bermain untuk Memetik
Nilai Kehidupan
Akhirnya,
salah satu kekhasan dalam pembinaan kaum muda di Civita adalah bermain. Ada
begitu banyak permainan baik indoor
maupun outdoor. Seringkali peserta
membayangkan bahwa retret adalah kegiatan yang serius dan membosankan. Namun,
setelah mengikuti dinamika retret di Civita yang disertai dengan berbagai
permainan mereka mengalami sebuah retret yang lain. Berbagai permainan memang
disiapkan baik untuk ice breaking
maupun untuk exercise. Permainan
dapat menjadi exercise atau sarana
untuk menggali dan menanamkan nilai. Melalui permainan, peserta tidak saja
bergerak aktif seturut perkembangan mereka melainkan juga belajar sesuatu.
Mereka menjadi tahu pentingnya kejujuran dan sportivitas. Mereka belajar
mengenai kepercayaan dan kerjasama. Berbagai nilai kehidupan lain bisa
ditemukan melalui sebuah permainan.
Civita: Oase Kaum
Muda
Menjadi
sebuah penghiburan ketika melihat anak-anak menyelesaikan retretnya dengan
sukacita. Mereka tidak ubahnya perempuan Samaria yang bertemu dengan Yesus di
sumur Yakub. Perempuan Samaria itu sedang mengalami pergulatan hidup. Di dalam
pergulatan itu, ia bertemu dengan Yesus sebagai Sumber Air Kehidupan. Perempuan itu mengalami kelegaan
karena menemukan Sumber Air Kehidupan (Civita) membuatnya berlari dengan penuh rasa
sukacita dan membagi sukacita itu kepada
orang-orang yang dijumpainya.
Gagasan amfiteater
yang menjadi bagian dari Civita juga ingin melukiskan
sebuah gerak pencarian menuju inti dan kesejatian hidup. Amfiteater
Civita menjadi tempat berdinamika baik berdoa, berekspresi
maupun berefleksi. Dengan adanya
Gua Maria, kaum muda dibantu untuk sampai pada Yesus sebagai Sang Sumber Air
Hidup. Itu yang menjadi keyakinan Gereja sepanjang masa. Per Mariam ad Iesum (Dari Maria sampai pada Yesus). Selamat ulang
tahun Civita yang ke-40. Terimakasih telah menjadi bagian peziarahan hidup
saya.
P. A.
Budi Nugroho, SJ
Direktur Civita 2011-2103
Daftar Pustaka:
1. Sarwono,
Sarlito W., 1989, Psikologi Remaja, Rajawali Pers, Jakarta
2. Shelton,
CM S.J., 1983, Adolescent Spirituality, Loyola University Press, Chicago
[1] CM. Shelton, S.J, Adolescent Spirituality, Loyola
University Press, Chicago 1983, 33[2] CM. Shelton, S.J, Adolescent Spirituality, 33[3] Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, Rajawali Pers, Jakarta
1989, 81[4]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 81[5]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 82[6]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 82[7]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 101[8]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 101[9]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 101[10]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 103[11]
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja, 103[12]
CM. Shelton, S.J, Adolescent Spirituality, 123
[13]
CM. Shelton, S.J, Adolescent
Spirituality, 121