Oleh P. Alex Dirdjo, SJ
Beberapa
bulan sudah saya tinggal di Civita Youth Camp dan ambil bagian dalam karya
pembinaan generasi muda Keuskupan Agung Jakarta. Karya ini bagi saya menarik
dan menantang, karena gagasan, minat, ekspresi, dan ulah anak-anak sering
mengherankan, kadang mengejutkan. Mengikuti pikiran dan gerak mereka, seorang
kakek 75 tahun seperti saya ini sering harus mendadak ganti “persneling”.
1.
Misi yang saya masih bisa
dilakukan dalam melibatkan diri adalah menjadi perantara yang mengintrodusir,
seperti yang digambarkan dalam Yoh 1 : 35-51. Di sana Yohanes Pembaptis
mengintrodusir dua orang muridnya, Andreas dan temannya kepada Yesus, lalu
Andreas mengintrodusir Simon saudaranya dan Filipus mengintrodusir Natanael.
Yang ditemukan oleh murid-murid pertama bukan ajaran yang muluk atau
inspiratif, melainkan pribadi Yesus yang begitu manusiawi dan mempesona. Paus
Fransiskus kita yang mengesan bagi saya beraspirasi membawa Gereja ke dalam
dunia. Ia mengutus Putera-Nya menjadi manusia, Yesus Kristus. Maka bila kita
mau menjadi Kristiani, cukuplah menjadi manusiawi seperti Yesus.
2.
Generasi muda yang kita
jumpai dalam retret di Civita maupun yang hidup di tengah masyarakat kita
memang baik tetapi betul sudah keracunan. Salah satu racun yang secara
sistematis diresapkan oleh dunia pendidikan dan diiklankan dalam masyarakat
adalah hidup yang berorientasi pada keberhasilan dan prestasi. Dorongan untuk
berprestasi di satu sisi memang positif karena membangkitkan motivasi dan daya
juang, tetapi di sisi lain membawa pengaruh negatif karena mendorong anak
melihat teman sebagai saingan dan lawan, memupuk egoisme dan rasa tega untuk
menendang bahkan menyingkirkan teman. Dengan kata lain kalau dalam satu kelas
dengan 40 siswa, kemudian anak didorong masuk ke dalam 10 besar, 30 siswa harus
dipinggirkan bukan? Dalam program retret Civita, anak-anak memang didorong
untuk maju dan “magis”, tetapi dengan kewaspadaan terhadap orientasi
keberhasilan sesaat yang mengejar acungan jempol atau tepuk tangan. Dorongan
untuk maju diwujudkan dalam kerjasama di mana teman tidak ditendang melainkan
dirangkul, perkembangan tidak diracuni egoisme melainkan dipupuk altruisme.
3.
Anak-anak muda yang dalam
rombongan datang untuk mengikuti retret di Civita diajak mencermati dan
meresapi nilai-nilai kemanusiaan Yesus Tuhan. Yesus merumuskan cita-cita-Nya,
ketika Ia bersabda: “Bukan kamu yang memilih Aku melainkan Akulah yang memilih
kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan
buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Buah-buah yang tetap itu kiranya bukan prestasi
sesaat, melainkan yang dapat menjadi bekal menghadap Tuhan. Paulus menyebut
buah-buah yang tetap itu sebagai buah-buah Roh, yaitu “Kasih, sukacita, damai
sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan,
penguasaan diri“ (Gal 5:22). Dapat kita tambahkan sendiri buah yang lain
seperti toleransi, komitmen pribadi, tanggung jawab, keteguhan, dan lain-lain
sebagainya.
Ada
satu pertanyaan tambahan: Bagaimana retret dapat membantu menyiapkan hati
anak-anak menjadi tanah yang gembur sehingga nilai-nilai luhur manusiawi dapat
menghasilkan buah-buah yang tetap itu ?
Salah
satu jawabannya adalah dengan membangkitkan kesadaran bahwa pribadi mereka
masing-masing itu unik dan berharga. Mungkin kisah dari P. Anthony de Mello
berikut ini dapat lebih menjelaskan.
Malik, anak Dinar, merasa jengkel
terhadap perilaku seorang muda tetangga rumah. Lama ia membiarkannya, dengan
harapan orang lain akan menegornya. Tetapi karena perilaku orang muda itu makin
tak tertahankan, Malik mendekatinya dan mendesak supaya ia mengubah cara
hidupnya. Orang muda itu dengan tenang menjawab bahwa dirinya ada di bawah
perlindungan Sultan dan tak seorangpun dapat mengubah cara hidupnya. Malik
berkata “Aku akan menyampaikan keluhan ini secara pribadi kepada Sultan.“
Orang
muda itu menjawab “Itu akan sia-sia, karena Sultan tak akan pernah mengubah pendiriannya
mengenai diriku.“ “Kalau begitu, Aku akan mengadukanmu kepada Allah”, kata
Malik. Orang muda menyahut, “Allah itu Mahapengampun. Dia tidak akan menghukum
aku.“ Malik pergi dan merasa kecewa sehingga sangat murung.
Ketika
masyarakat mulai mengeluh karena perilaku orang muda makin keterlaluan, Malik
memutuskan untuk menegurnya dengan keras. Ketika ia berjalan menuju kediaman
orang muda itu, ia mendengar suara yang cukup lembut tetapi sangat jelas
“Jangan kau sentuh dia. Dia adalah sahabat-Ku.” Orang muda terdiam sesaat lalu
bertanya, “Dia menyebut aku sahabat-Nya?“ Malik sudah pergi belum sempat
menerangkan apapun.
Bertahun-tahun
kemudian, Malik menjumpai dia sebagai pengemis yang berziarah. Dia mengaku “Aku
telah melepaskan seluruh harta milikku. Aku pergi untuk mencari Sahabatku.”
Demikian
katanya kepada Malik dan matilah dia. “Tuhan adalah Sahabatku“ adalah kabar
sukacita yang tak pernah kulupakan.
CIVITA, 5 JANUARI 2014
P.
Alex Dirdjo, SJ