Oleh P.
Subroto Widjojo, SJ
Pengantar
:
Berhubungan dengan pendampingan Orang Muda
Katolik (OMK), ada pengalaman yang menurut saya perlu dicatat:
Pertama,
sewaktu diminta untuk memberi retret pelajar SMP/SMA, suatu Sekolah Katolik di
KAJ, suster dan beberapa guru datang mengantar para peserta didik mereka ke
Civita. Para pembimbing sekolah itu dengan legowo
(rela) memberikan anak-anaknya untuk mengikuti retret yang saya pimpin. Setelah
penyerahan peserta retret, mereka pulang. Tidak ada satu pun yang tinggal
mendampingi anak-anak asuh mereka.
Sewaktu selesai, mereka datang,
menjemput anak-anak, mengucapkan terima kasih lalu pulang bersama semua anak
peserta retret. Ini terjadi tiga kali dari sekolah yang berbeda-berbeda. Selama
retret terjadi dinamika proses anak-anak mengenal diri mereka sendiri, masalah
yang dihadapi di sekolah, hubungan di antara anak dan sesama teman sekolah,
dengan para guru dan orang tua mereka. Mereka umumnya bertekad merubah nilai,
sikap dan perilaku mereka yang mereka anggap “penyimpangan” dan ingin
memperbaikinya. Itulah saat crucial
bagi anak-anak peserta didik kita.
Sayang, tidak ada seorang guru,
pendamping atau pembina pun waktu itu yang hadir menyaksikan pergumulan proses
dinamika pencarian jati-diri anak-anak asuh mereka. Sepulang ke sekolah
masing-masing dari Civita sangat diragukan apakah niat dan tekad untuk
perubahan nilai, sikap dan perilaku itu bisa ditindaklanjuti, tanpa
pendampingan para guru dan pembina yang sehari-hari berserta mereka di sekolah.
Saat itu saya mengungkapkan protes saya untuk tidak membantu mendampingi retret
para pelajar kalau tidak ada seorang pun dari staf sekolah yang ikut
menyaksikan dan mengalami dinamika pergumulan anak-anak mereka.
Kedua, seputar tahun, 2005, sebagai
Moderator BPK PKK KAJ, kami memperoleh sharing
dari Komunitas Keluarga Kudus Allah (KKKA) KAJ, yakni dari pengalaman pelayanan
mereka kepada para pelajar SLTA Katolik di KAJ. Singkat cerita setiap Sabtu
pagi telah siap dua bus “Tri Star” di jalur lambat depan Sekolah. Dua bus penuh
dengan anak-anak dari Sekolah tersebut pergi ke suatu tempat. Ini terjadi
sepekan sekali. Dua bulan kemudian ada orang tua lapor ke sekolah mengapa anak
mereka tidak mau membuat tanda salib dan berdoa Bapa Kami. Mendapat laporan dan
protes dari orang tua itu pihak sekolah bingung. Mereka merasa sudah memberi
pelajaran agama seperti itu. Kalau anak meninggalkan sekolah, mereka merasa
anak-anak peserta didik bukan lagi tanggung jawab mereka. Dan setelah
diselidikinya ternyata anak-anak tersebut dibawa oleh aktivis muda-mudi dari
gereja lain untuk ikut menghadiri kegiatan semacam “Sekolah Minggu” dengan cara
dan gaya yang cocok bagi anak-anak remaja tersebut. Mereka merasa di sekolah
hanya mendapatkan pelajaran agama untuk dapatkan nilai bukan pendidikan agama,
apalagi bimbingan dan pembinaan dalam penghayatan agama.
Akhirnya pihak sekolah meminta
anggota KKKA (Komunitas Keluarga Kudus
Allah) mengadakan kegiatan rohani di sekolah sebagai kegiatan
ekstrakurikuler. Dan mulai di sana diselenggarakan PDKK untuk pelajar. Cara dan
gaya tidak jauh berbeda dengan apa yang diberikan oleh aktivis muda-mudi dari
gereja-gereja lain, tetapi isi berbeda. Dan akhirnya anak-anak merasa disapa
dan mendapat wadah penghayatan agama selaras dengan usia dan selera anak muda,
tiap Sabtu siang tidak ada lagi bus yang parkir menanti mereka untuk outing-rohani.
Pengalaman ketiga, ini juga hasil
laporan dari anak-anak remaja kita yang sering ke Luar Negeri khususnya ke
negeri Singa. Di antara mereka adalah pemerhati anak-anak remaja. Kalau di
Singapura mereka menghadiri Misa di gereja Katedral ‘Novena’. Ketemu dengan
Pastor Moderator untuk remaja di sana, mereka mendapatkan kisah bagaimana
Pastor Moderator itu lapor ke Uskup bahwa para remaja Katolik di Paroki
Katedral semakin sedikit yang hadir di gereja. Dan ternyata makin banyak yang
ikut Ibadat di gereja seberang. Mendapat laporan itu, Bapak Uskup menyuruh
pastor itu untuk menghadiri Ibadat di gereja seberang di mana remaja Katolik
ikut hadir. Dia bertemu sebagian besar remaja Katolik di sana. Mereka ini
meminta Pastor supaya mendampinginya seperti di gereja seberang itu. Juga cara
dan gaya musik-musik yang cocok dengan darah anak muda seperti di situ. Setelah
dua bulanan selalu hadir tiap Minggu di sana, pastor tadi lalu lapor kepada
Bapak Uskup hasil penemuan pengalamannya. Dan ia diminta merubah cara
pendampingan dan cara serta gaya ibadat selaras dengan selera anak muda. Ia
kisahkan tahun berikutnya gereja Katedral ‘Novena’ penuh lagi dengan remaja
sebab pastoralnya cocok banget untuk mereka.
Dan di KAJ, para mahasiswa Katolik
sepuluh ribuan lebih jumlahnya lewat perwakilannya meminta Bapak Uskup Agung
Kardinal Darmaatmadja, SJ waktu itu, supaya diterbitkan buku lagu-lagu rohani
yang dapat mereka pakai dalam Ibadat dan pertemuan-pertemuan doa di luar Misa, yang telah mendapat izin dari pihak Keuskupan.
Akhirnya tahun 2004, dibentuklah Panitia oleh Komisi Liturgi Keuskupan Agung
Jakarta, untuk menyeleksi 2500 lagu-lagu rohani ‘yang sudah cukup dikenal dan
hidup di tengah umat’. Dan di tahun 2005, Tim Kecil, terdiri dari delapan
orang, di bawah Ketua Komisi Liturgi KAJ waktu itu, RD. Susilo Wijoyo, berhasil
mengumpulkan, menyeleksi dan menyusun buku kumpulan nyanyian yang dimaksud
dengan nama Kidung Syukur, sebagai Suplemen buku Puji Syukur. Lagu-lagu dalam
buku Kidung Syukur ini, karena berbobot dan bermutu dari segi syair dan
lagunya, telah biasa dinyanyikan di kalangan remaja dan juga umat KAJ pada
umumnya.
Anak
Muda Dalam Kitab Suci
Tentu tidak sedikit ayat yang berbicara
tentang orang muda dalam Kitab Suci, yang sering kami pakai sebagai bahan titik
tolak renungan dalam retret remaja atau homili dalam Misa Kaum Muda seperti
dari Kel 20:12; Ul 5:16 tentang sesepuluh perintah Allah “Hormatilah Ibu
Bapamu!” Dan dalam Sir 3: 2-6. 12-14 tentang hubungan anak dan orang tua. Mzm
119: 9 mengungkapkan dengan cara lain, “Dengan apakah seorang muda
mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”
Dalam Perjanjian Baru, kisah orang muda yang mempunyai cita-cita luhur dan ia
menghadap Yesus sendiri. Tetapi sewaktu disodorkan syarat mencapai cita-cita
luhur itu, ia merasa berat. Dan iapun mengundurkan diri kisahnya dapat dibaca
di Mat 19:16-22; Mrk 10: 17-22; Luk 18: 18-23.
Beberapa
ayat terkutip dari Alkitab di atas seputar orang muda, mengungkapkan adanya
cita-cita luhur dalam hidup—hidup
ini mau diisi apa?—,
adanya tantangan, adanya panggilan sekaligus perutusan. Hal itu semua dapat
menjadi bahan pembahasan lewat pendidikan dan bimbingan yang intensif agar
orang muda memiliki pegangan sebagai pedoman mengisi hidupnya di masa muda ini
atau menanggapi panggilan hidupnya untuk diri mereka masing-masing. Semua ayat itu sangat
inspiratif dan menantang kaum muda.
Pembinaan Remaja
Zaman Yesus
Di
tahun ’70-an, ada nyanyian dari musical
drama Godspell, di Broadway, London, ‘Day-by-Day’, yang mendapatkan
inspirasi dari doa Saint Richard dari Chichester, yang berbunyi “Lord, of thee three things I pray: To see
thee more clearly, love thee more dealy , Follow thee more nearly, day by day”
(Tiga hal yang kupinta, ya Tuhan dari-Mu, untuk melihat-Mu lebih semakin jelas,
mengasihi-Mu lebih semakin mesra dan mengikuti-Mu lebih semakin dekat! Hari
demi hari”).
Mengikuti
Yesus ini adalah ciri dan panggilan murid-murid Yesus sebagaimana dipaparkan
dalam keempat Injil. Agar orang muda mengenal-Nya lebih jelas, mengasihi lebih
mesra dan mengikuti-Nya lebih dekat, kiranya perlu juga mengenal latar belakang
masyarakat Yahudi dalam mendidik anak-anak sejak kecil sampai dewasa seputar
zaman Yesus. Ini diceritakan dalam Talmud
(Tradisi) Yahudi. Dalam Injil kita hanya kenal sewaktu Yesus berusia 12
tahun, ditemukan di Kenisah. Selain itu Injil tidak bicara sedikitpun tentang
pendidikan Yesus.
Bagi
orang Yahudi, pendidikan itu pertama-tama adalah tugas orang tua (Ams 1:8). Ayah
harus mendidik anaknya, mengajarinya cara membawakan diri dalam masyarakat; dan
kalau dia anak-anak laki-laki, juga diajarkan bagaimana cara mencari nafkah.
Sedang anak perempuan dididik dalam pekerjaan rumah tangga oleh ibunya. Dan
pendidikan keagamaan diberikan oleh orang tua. Dikatakan ayah harus menceritakan
‘sejarah Israel’ kepada anak-anaknya (Kel 10: 2; 13:8; Ul 4:9; 32:7).
Di zaman Yesus, sudah ada sekolah, tentu
tidak seperti sekolah zaman sekarang. Umumnya hanya ada satu guru, seorang
Farisi yang ahli dalam Taurat. Mereka ini mengumpulkan anak-anak dan mengajar
mereka pelbagai pengetahuan khususnya hal agama. Mereka ini berkumpul di tempat
umum upama di sinagoga. Tujuan pokok pendidikan ialah kemampuan
membaca/menghafalkan Kitab Suci. Yang mampu dan pintar melanjutkan studi hukum
di Yerusalem. Waktu itu juga ada kelompok studi untuk orang dewasa, guna
mempelajari Kitab Suci, hukum adat bersama-sama. Kemungkinan besar Yohanes
Pembaptis dan Yesus-pun membentuk kelompok seperti itu. Karena itulah Yesus
juga mendapat julukan ‘rabi’ atau
guru. Ini suatu gelar kehormatan tinggi dalam masyarakat. Dan ditulis Yesus “mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa,
tidak seperti ahli-ahli Taurat’ (Mrk 1:22). Maka pola pendidikan para
rasul, pertama ialah untuk menjadi murid-murid-Nya, yakni “mengikuti Dia”.
Menjadi murid Yesus, suatu panggilan sekaligus suatu tawaran.
Psikologi
Perkembangan Tentang Masa Remaja
Mendamping remaja, mau tak mau kita
harus faham akan perkembangan kepribadian di saat remaja itu. Di sini Psikologi
Kepribadian, khususnya Psikologi Perkembangan memberikan sumbangannya.
Berbicara tentang orang muda atau pemuda,
secara sistimatis dalam Psikologi Perkembangan disebut “Remaja” atau adolesentia dan dalam bahasa Inggris Adolescent. Ini suatu masa transisi
antara masa kanak-kanak dan dewasa, atau masa transisi sejak awal pubertas
sampai awal dewasa. Faktor biologis memiliki pengaruh yang jelas dalam periode
ini. Sedang faktor sosial memberi kontribusinya yang sangat berarti lewat the social clock. Upamanya, saat wisuda
dari SLTA, meninggalkan rumah (studi lanjut) mendapatkan pekerjaan, menikah,
mempunyai anak, pensiun dari kerja. Dikatakan bila terlambat dalam menapaki
tahap-tahap ini bisa menyebabkan gangguan emosional yang berat.
Dalam hal ini kita sebagai
pendamping: orang tua, guru dan pemerhati/peduli anak muda, tentu sudah tahu
akan tahap-tahap perkembangannya remaja, baik secara fisik, kognitif maupun
psikososialnya serta hal hubungan sosial mereka.
Dalam aspek fisik atau jasmani atau perkembangan yang berhubungan dengan
‘pubertas’, yakni cepatnya naik tinggi badan, tubuh cepat tumbuh mekar, remaja
putri seputar usia 10-12, sedang putera 12 dan 14. Mereka ini mengalami dua macam ciri pertumbuhan sex. Yang
pertama ciri perubahan fisik yang dipengaruhi oleh hormon, yakni reproduksi
sexualitas, yang mencakup pertumbuhan penis, testis pada putra, dan pada putri
perkembangan vagina, uterus dan ovarium. Sedang ciri pertumbuhan sexualitas
kedua ialah perubahan yang distimulasi (dirangsang) oleh hormon sex, tetapi
tidak ada kaitannya dengan reproduksi sexualitas.
Perubahan fisik secara dramatis
dalam masa pubertas ini disebabkan karena perumbahan hormon, tetapi selera atau
‘mood’ remaja yang sering mudah berubah-ubah tidaklah merupakan produk samping
dari hormon. Perubahan-perubahan fisik itu kalau tidak dikelola dengan baik
dapat menjadi sumber gangguan emosional pribadi, terungkap dalam bersikap dan
berperilaku. Pubertas dini jauh lebih baik daripada pubertas lambat, meski saat
pubertas itu tidaklah menimbulkan masalah perilaku.
Perubahan lain yang patut diperhatikan ialah Perkembangan- Kognitif, yang kurang
dramatis. Kita semua kenal dengan Teori
Piaget (1931), yang menyatakan bahwa mulai usia 11 anak meninggalkan tahap
operasional konkrit menuju tahap operasional formal. Ini ditandai dengan
kemampuan menggunakan pikiran abstrak dan kemampuan mengurai masalah dengan
hipotesis untuk membuktikannya. Menurut Piaget, sedikitlah jumlah remaja yang
telah mencapai tingkat operasional yang membuang keyakinan sebelumnya yang
bersifat universal. Dan remaja yang telah mencapai tahap ini terbuka bagi
mereka untuk cara berpikir ilmiah dalam perjalanan akademik mereka.
Dalam aspek Perkembangan Psikososial, mengacu pada teori Erik Erikson (1963). Menurutnya
perkembangan psikososial berlanjut melewati masa remaja ke masa dewasa dan usia
lanjut. Tugas psikososial terpenting dari masa remaja ini adalah pembentukan
jati diri pribadi (“Who am I?”) serta
perkembangan hubungan yang sehat dengan teman sebaya dan orang tua. Menurut
Erikson, masa remaja adalah saat remaja berusaha mencapai ‘Jati diri’. Usaha
paling penting dalam masa remaja ini ialah mampu mengatasi konflik identitas
dengan kebingungan perannya.
Dunia sosial mereka menuntut
dicapainya keseimbangan antara ketergantungan masa kecil dan independensi masa
dewasa. Ini bisa muncul dalam konflik antara pengaruh pendidikan orang tua dan
pengaruh dari teman sebaya. Nilai-nilai dari masa kanak-kanak mencerminkan
nilai-nilai orang tua mereka, tetapi nilai-nilai dari dunia remaja terayun ke
sana ke sini antara nilai-nilai dari orang tua mereka dan nilai-nilai dari
teman-teman sebayanya. Anak remaja bergerak dari suatu dunia yang dibimbing
oleh keinginan dan harapan orang tua ke suatu dunia di mana kaum remaja
dihadapkan dengan setumpuk pilihan dalam hal sex, drugs, teman dan pekerjaan
rumah dari sekolah dan lain-lainnya.
Remaja
dan Relasi Sosial
Konflik hubungan anak dan orang tua adalah
karena remaja masih tergantung pada orang tua mereka sewaktu berusaha mencari
jati-diri, maka umumnya remaja dianggap sebagai suatu masa konflik antara orang
tua dan anak. Oleh G. Stanley Hall, periode ini juga disebut masa storm and stress. Upama saja, orang tua
kaget campur bingung atas pilihan anak remaja dalam hal berpakaian, musik dan
kosa kota (bahasa prokem). Remaja pria membiarkan rambutnya mulai gondrong, punk, memakai anting-anting dan
lain-lainnya. Adanya konflik dengan orang tua, selera suka-tak-suka di kalangan
remaja serta berperilaku mengundang resiko (kebut-kebutan), sering dipengaruhi
oleh latarbelakang budaya yang berbeda-beda, tetapi umumnya remaja dari budaya
tradisonal cenderung mempertahankan nilai-nilai dari praktek-praktek kehidupan
yang tradisional, meski mengalami derap cepat pengaruh dari modernisasi dan
globalisasi.
Dalam hal persahabatan, anak remaja menjalin
persahabatan yang lebih dekat dan akrab dari pada masa sebelumnya. Mungkin ini
disebabkan karena remaja sudah lebih mampu untuk ber-‘sharing’ tentang isi
pikiran dan rasa hati mereka serta tentang pemahaman mereka tentang orang lain.
Tingkat perasaan dekat dan akrab dengan sesama jenis antara putera dan puteri,
tidaklah berbeda. Perbedaannya terletak bila antara sesama anak puteri, mereka
ini lebih merasa bebas ‘membuka-diri’ dalam ber-‘sharing’, sedang anak putera
cenderung rasa dekat dan akrab dengan berbagi dalam kegiatan bersama.
Teori
Tahap Perkembangan Moral dan Iman
Secara akademis, kita mengenal tiga tokoh
terkenal dalam bidang tahap-tahap dalam moral dan iman , yakni Jean Piaget, Lawrence Kohlberg dan James W. Fowler. Bicara tentang Iman
dan Moral Masa Muda, dengan singkat dapat dikatakan, bahwa masa muda merupakan
periode di mana individualitas makin menampakkan wujudnya. Sebagaimana telah
kita ketahui, perkembangan psikologis orang muda dari umur 9 sampai dengan
19-an, memungkinkan mereka untuk menerima tanggung jawab atas perilaku mereka
sendiri dan secara sadar mereka terlibat dalam hal perkara, keinginan dan
cita-cita mereka yang mereka pilih sendiri. Ini tahap penting dalam pertumbuhan
religius.
Berdasar Perkembangan
Kognitif dari Piaget yang telah disinggung di atas, yakni proses peralihan
dari pemahaman konkrit ke pemahaman abstrak, dalam hal peraturan dan keputusan
moral. Piaget mengemukakan teori Dari Heteronomi
ke Autonomi. Heteronomi bercirikan hubungan yang dipandang sebagai pengekangan
(peraturan dari luar yang harus dihormati dan ditaati ). Menginjak usia remaja,
tahap demi tahap, heteronomi berkurang beralih ke ‘autonomi’: kerja sama
berkembang atas dasar norma ideal di balik peraturan. Peraturan harus diterima,
bukan dilihat sebagai tuntutan untuk bekerjasama, tetapi sebagai produk
keputusan bebas dan persetujuan timbal balik, atau sebagai ‘produk kolektif’–
kesadaran tentang diri sendiri dalam konteks sosial. Dan teori berikut adalah
Dari realisme Moral ke Intensi, di mana anak mengembangkan rasa
hormat terhadap peraturan moral dan penerapannya dalam pengambilan keputusan.
Hasil penelitian Piaget tersebut
mendukung pendekatan terhadap moralitas yang bergerak melampaui legalisme.
Moralitas adalah jauh lebih luas dan lebih dalam daripada hukum. Moralitas
mencakup seluruh lingkup pengalaman yang dipergunakan orang untuk mewujudkan
kebebasan dan nasibnya.
Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Dalam Doktoral tesisnya berjudul “The Development of Modes of Moral Thinking
and Choice in the Years Ten to Sixteen”, Kohlberg menyajikan teori
Perkembangan Moral, dan diringkaskan dalam bukunya “Stages of Moral Develompent as a Basis for Moral Education” (1971),
dalam tiga tahap yaitu preconventional,
conventional dan postconventional.
Menurut Kohlberg, orang harus melewati semua
tingkat atau tahap itu secara berurutan, tahap demi tahap, dari tingkat 1, 2, 3
dan seterusnya, tanpa ada orang yang melompat dengan dua tingkat.
Baik Piaget maupun Kohlberg memberikan makna
sangat berarti bagi agama, khususnya dalam pemahaman perkembangan dan
penghayatan moral, yang lebih menggarisbawahi autonomi dan tanggung jawab pribadi. Karena perkembangan moral ini
lepas dari konteks religius, maka agama dapat mengembangkan peziarahan moral
dengan membantu umat, khususnya remaja, agar dapat melihat kompleksitas situasi
moral dan jangan puas dengan pemecahannya yang terlalu sederhana, serta
mengidupkan visi tentang prinsip-prinsip moral yang paling tinggi, luhur,
sambil mengembangkan sikap enak-tak-terganggu dan mengampuni adanya celah-celah
dalam usaha dan kekurangan-kekurangan dalam mencapai kesempurnaan, yang
tercakup dalam visi di atas.
Perkembangan Tahap Iman menurut Fowler.
Dalam bukunya “Stages of Faith” (1981),
James W Fowler, seiring dengan teori-teori perkembangan kepribadian dalam hal
kognitif dan moral, menyumbangkan pemikirannya tentang tahap-tahap perkembangan iman. Ia berteori adanya tujuh tahap
perkembangan iman.
Pertama, Pra-stage,
Undifferentiated Faith, usia 0 sampai
2 tahun. Anak memiliki potensi beriman ‘lewat kepedulian penuh kasih dari orang
tua dan yang dewasa lainnya.
Kedua, Stage
-1: Intuitive-projective Faith–
anak-pra sekolah; di sini anak-anak belum bisa melihat dari kacamata orang
lain; iman bagi tahap ini adalah sekumpulan kesan yang umumnya diperoleh dari orang
tua, yang mereka percayai, anak mulai belajar ritual keagamaan.
Ketiga, Stage
-2: Mystical-litteral Faith,
untuk usia 6-12 tahun. Di sini anak mulai bisa membedakan mana fantasi mana
yang nyata dan dapat dibuktikan. Sebagai sumber iman selain orang tua juga
komunitas lain, yakni guru dan teman-teman. Iman harus dialami dan karena
anak-anak masih berpikir secara konkrit/harafiah, maka iman berujud cerita yang
dikisahkan, ritual-ritual yang dilakukan; di sini juga anak mulai kenal bahwa
ada kepercayaan lain.
Keempat, Stage
-3: Synthetic Conventional Faith,
untuk usia 13-18, anak remaja telah bisa berpikir secara abstrak. Iman atau
nilai-nilai moral yang dulu dikisahkan dalam cerita-cerita yang nampaknya tak
ada hubungan satu dengan yang lain, sekarang ditangkap secara menyatu. Remaja
juga telah bisa melihat dari kacamata pihak lain; dan iman mulai menjadi milik
pribadi bukan lagi milik keluarga; dalam tahap ini pula masalah otoritas tetap
ada namun di luar dirinya.
Kelima, Stage
-4: Individuative-reflective Faith,
usia 18-22, akhir masa remaja, menginjak dewasa. Saat ini remaja dewasa mulai
menanyakan asumsi-asumsi dari tradisi imannya, menanyakan struktur otoritas
akan imannya. Bila mereka tidak memperoleh jawaban sebagaimana diharapkan,
mereka bisa meninggalkan iman/Gereja.
Keenam,
Stage -5: Conjunctive Faith, usia
dewasa s/d 30-an. Orang dewasa mengakui adanya keyakinan yang memang tidak
dapat dijawab semuanya, tetapi mereka tetap merasa aman. Di sini orang mulai
terbuka bagi iman dan keyakinan lain; perjumpaan ini dirasa sebagai penambahan
informasi dan memperdalam imannya sendiri.
Ketujuh, Stage
-6: Universalizing Faith.
Dinyatakan bahwa jarang sekali orang mencapai tahap ini. Disebut sebagai
contoh, Mahatma Gandi dan Ibu Theresa. Mereka dipandang sebagai orang yang
memiliki berkat khusus yang membuat mereka nampak lebih jernih hidupnya,
sederhana, tetapi mereka tetap dengan kemanusiaan yang penuh dibanding dari
orang-orang pada umumnya. Mereka mampu menjadi “guru”, mampu berhubungan dengan
orang dari keyakinan atau agama apa pun; mereka menerapkan imannya dalam
tindakan dan menantang orang yang berada dalam statusquo; mereka berusaha menciptakan keadilan dunia.
Pengalaman
dari Pastoral Orang Muda
Pengalaman kami sangat terbatas di
kalangan remaja akhir menginjak awal dewasa, yakni di kalangan mahasiswa
semester satu-dua.
Pertama,
kami merasa belum pernah ada penelitian di bidang tahap perkembangan Moral dan
Iman sebagaimana Piaget, Kohlberg dan Fowler sajikan,di kalangan remaja kita,
baik di tingkat sekolah Dasar, SLTP, maupun SLTA, apalagi mahasiswa tingkat
pertama. Meskipun demikian, teori-teori tersebut sangat membantu dalam memberi
pegangan pastoral di kalangan remaja.
Kedua,
Remaja injak dewasa sudah melewati periode perkembangan biologisnya, telah
menemukan jati diri, tetapi belum jelas apa yang menjadi tujuan dalam hidup
ini. Latihan dinamika kelompok menunjukkan bahwa pertemuan dalam
kelompok-kelompok kecil jauh lebih efektif daripada pertemuan besar bersama.
Latihan dalam hal brain storming dan sharing, membantu remaja akhir bersama
meniti kisah hidup, sejarah iman diri dan iman keluarga serta juga ‘sejarah
panggilan’-nya. Latihan proses Decision
Making membantu mereka mencicipi awal dari proses discernment untuk mencari tujuan hidup, panggilan, atau apa saja
yang menjadi prioritas jangka panjang maupun jangka pendek dalam masa studi,
memilih apa yang perlu dibuang kalau itu menghalangi, atau memupuk terus kalau
itu mendukung tujuan yang mau dicapainya. Dalam temu kelompok-kelompok kecil
itu remaja tumbuh berkembang dalam pemahaman moral dan iman, lebih terbuka dan
lebih aktif terlibat dalam proses kelompok, saling belajar dan saling
memperkaya. Mereka belajar berdoa pribadi, berdoa spontan dan lebih percaya
diri mengungkapkan apa yang ada dalam hati dalam kelompok terbatas.
Ketiga,
kelompok kecil yang memberi kesempatan saling memperkaya dan saling meneguhkan,
juga dapat dipakai sebagai group
counseling dan group therapy,
asal di bawah bimbingan facilitator
yang handal. Dalam konteks rekoleksi atau retret pertemuan kelompok terstruktur
bisa menjadi wadah proses penyembuhan baik itu dari kesalahan, penyimpangan
pemahaman dan penghayatan moral dan iman. Apalagi kalau proses penyembuhan itu
didukung dengan pelayanan Sakramen Rekonsiliasi. Dalam pertemuan kelompok
terstruktur ini juga bisa merupakan tempat reformasi hidup, membuat tekad dan
keputusan yang menyangkut masa depan.
Keempat,
sering dalam Retret Remaja atau Mahasiswa awal, menjadi ‘Retret Penyembuhan
Luka Batin’. Beberapa remaja sampai awal dewasa membawa beban ‘luka-luka batin’
dari sejak kecil. Hal tersebut sering menghambat perkembangan kognitifnya,
kepribadiannya khususnya dalam berkomunikasi dan ber-relasi. ‘Luka-luka batin’
umumnya didapat sewaktu kecil tinggal di tengah keluarga dari orang tua atau
saudaranya. Paulus dalam suratnya kepada Umat di Kolese menulis: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu,
supaya jangan tawar hatinya” (Kol 3:21; Ef 6:4). Ini mengingatkan kita akan
tulisan Dorothy Law Nolte (Children
Learn What They Live), yang berbunyi:
If children live
with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live. (Copyright © 1972 by Dorothy Law Nolte).
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live. (Copyright © 1972 by Dorothy Law Nolte).
Kelima, remaja atau anak muda
merasul untuk teman sebayanya. Dari pengalaman Reksa Pastoral bagi remaja khususnya
mahasiswa, menunjukkan hasil yang memberi harapan: mereka siap untuk melayani
sesama temanm dan siap untuk merasul di antara sesama remaja atau mahasiswa. Tepat
yang dikatakan Dekrit tetang Kerasulan Awam, yang berhubungan dengan ‘Kaum
Muda’. Dikatakan, “Kaum muda merupakan
kekuatan amat penting dalam masyarakat sekarang. ....Sementara kesadaran akan
kepribadian mereka bertambah masak, terdorong oleh gairah hidup dan semangat
kerja yang meluap, mereka sanggup memikul tanggung jawab sendiri,... Bila gairah
itu diresapi oleh semangat Kristus dan dijiwai oleh sikap patuh dan cinta kasih
terhadap para gembala Gereja, maka boleh diharapkan akan memperbuahkan hasil
yang melimpah. Mereka sendiri harus menjadi rasul-rasul pertama dan langsung
bagi kaum muda, dengan menjalankan sendiri kerasulan di kalangan mereka, sambil
mengindahkan lingkungan sosial kediaman mereka” (AA, no 12).
Beberapa
Usulan
Agar semboyan yang sering kita
ucapkan “Masa Depan Gereja ada di tangan Orang Muda Katolik sekarang”, tidak
hanya tinggal slogan, perlu ada langkah konkrit dari kita dalam menyambut
peringatan 40 tahun Civita ini.
Pertama,
Bina Iman perlu diselenggarakan secara formal dan terstruktur di paroki-paroki,
mulai sedini mungkin, adanya Bina Iman Anak, sampai Remaja dan Bina Iman
Dewasa. Untuk itu perlu ditunjang dengan SDM dan sarana yang memadahi.
Kedua,
untuk SDM perlu dipersiapkan. Selain mereka-mereka yang lulus dari pendidikan
formal kateketik ataupun teologi, juga mereka-mereka yang lulus dari bidang studi
lain, yang berminat dan berbakat. Mereka semua (kalau belum) perlu
diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai Psikologi Kepribadian, dan Psikologi
Perkembangan, lebih Perkembangan Kognitif, Moral dan Iman. Selain itu agar bisa
menjadi fasilitator yang handal perlu dibekali dengan ketrampilan Psikologi
Sosial khususnya Dinamika Kelompok.
Ketiga,
perlu digalakkannya lomba menciptakan lagu rohani baru yang khas untuk remaja,
lomba musik, lomba menciptakan cerita dan drama untuk remaja yang dimuat baik
di media cetak maupun elektronik, yang memberi inspirasi dan tantangan.
Keempat,
diperlukan adanya “Bank Data” tentang buku-buku, drama dan film, yang relevan
untuk remaja kita.
Kelima,
dibuatkan silabus jenjang-jenjang pembinaan ke arah spiritual leadership remaja, di luar Bina Iman dan Retret Sekolah.
Visi spiritual leadership ini ialah
pemuri dan – menjadi murid-murid Kristus yang dewasa, menjadi men/women for others, siap diutus
melayani baik dalam bidang kemasyarakatan maupun evanglisasi sehingga anak muda
melayani anak muda. (SW)
***
Tulisan
ini merupakan materi Seminar Sehari dengan tema “Retret, Kaderisasi dan Pembentukan Karakter Orang Muda Katolik” pada
Minggu, 5 Januari 2014 di Aula Gereja St. Theresia, Jakarta.