Oleh P. H. Wardjito, SCJ
Sekembali
dari kuliah disiplin ilmu Kateketik dan Pastoral Kaum Muda di Universitas
Kepausan Salesian, Roma (1983-1986), saya diberi tugas untuk mengisi Rumah Retret
Giri Nugraha, yang telah selesai dibangun pada 1981. Selama 10 tahun, yakni
1987 hingga 1997, saya bertugas sebagai
koordinator tim pembimbing retret rumah
retret Giri Nugraha, Palembang. Saya menjadi “penjiplak” Retret Kaum Muda ala
Civita.
Kebetulan
pada waktu itu Komisi Kepemudaan KWI sedang mempromosikan sistem pembimbingan
kaum muda antara lain ala Civita. Tidak sedikit para pendamping dan pembina
kaum muda dari keuskupan-keuskupan di Indonesia pernah di Civita untuk berlatih
mendampingi retret. Model pelatihan di Civita adalah dengan sistem mengalami
(menerapkan metode eksperiansial) sendiri bagaimana retret ala Civita dihidupi.
Setelah itu dilanjutkan dengan merefleksikannya dan memahami dasar teoritis
serta mempraktekkan kembali ketrampilan-ketrampilan yang menunjang pastoral
kaum muda. Setelah itu seingat saya, ada beberapa tim yang tersebar di Jawa
Timur dan Sumatera Utara yang “menjiplaknya” dengan menjalin kerja sama dengan
sekolah-sekolah Katolik di setiap tempat. Bahwa sampai sekarang masih terus
berjalan, adalah memang patut disyukuri, termasuk di Rumah Retret Giri Nugraha
Palembang yang masih melayani tidak sedikit kelompok kaum muda usia SD, SMP dan
SMU yang bisa mengalami retret ala Civita.
***
Pernah suatu waktu, ketika saya
sudah tidak lagi diutus di Rumah Retret Giri Nugraha Palembang, dan sedang
bertugas di pusat Tarekat di Roma, pada tahun 1998 sepucuk surat saya terima.
Surat ini ditulis oleh seorang Ibu yang beragama Budha dan isinya ialah
berterimakasih karena ketiga anaknya sungguh-sungguh berubah setelah mengikuti
retret. Perlu dicatat bahwa Kaum Muda yang datang ikut retret dan diorganisir
oleh Sekolah-sekolah Katolik mempunyai latar-belakang kompleks, termasuk
agamanya. Ketiga anak Ibu tersebut tidak serentak ikut retret dan mereka tetap
beragama Budha. Nah, ibu itu tidak bisa menyimpan lebih lama lagi keinginannya
untuk berterimaksih. Pada suratnya diceriterakan bagaimana mereka dengan
tepatnya menempatkan diri sebagai anak-anak di dalam rumah tangga dan semakin
hari semakin tahu akan tugas dan kewajiban yang tidak saja mesti mereka lakukan
karena diperintah, tetapi muncul karena inisiatif mereka yang tulus. Mereka
membereskan sendiri kamar tidurnya, mau menyapu lantai, mencuci piring,
memperhatikan hal-hal kecil yang ada di rumah, dlsb. Ibu itu bertanya apa sih
resepnya dengan mengikuti retret selama empat hari tiga malam, anak-anak bisa
sungguh berubah? Inilah sepenggal kisah setelah retret yang dialami oleh orang
tua sebagaimana dikisahkan dalam suratnya kepada saya. Banyak “feedback”
positif yang kami terima selama membimbing retret.
Yang diutamakan di dalam retret ini
bukan pertama-tama tempat, akomodasi dan makan-minum yang kami sajikan (ini
ciri yang tetap kita miliki bersama), tetapi dinamika retret empat hari tiga
malam itu sendiri. Yang sering kita istilahkan dengan kata “input” dan “output”
tidak lain adalah di dalam posisi “Siapakah aku ini?” dan “Kebebasan untuk...”
mengikuti panggilan mengikuti Allah di dalam Yesus Kristus, dan diutus oleh-Nya
untuk menjadi saksi Cinta kasih-Nya. Tidak pernahlah kita mengkristenkan setiap
peserta retret, tetapi yang Kristen semakin menjadi Kristen dan yang non
Kristen pun merasakan bagaimana manusia perlu bertobat, bangkit dari kekeliruan
dan dosanya, lalu hidup baru di dalam kemanusiaan yang utuh untuk kembali ke
dalam konteks hidupnya sehari-hari, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Lucu dan nyata bahwa guru-guru, karyawan-karyawati dari lingkungan Xaverius pun
ingin sekali mengikuti retret yang juga diwarnai oleh susana “ludik” alias
“penuh canda”.
***
Suasana lingkungan retret yang tetap
sederhana, namun dijamin oleh pendekatan seluruh anggota tim retret yang
simpatik dan empatik, telah turut membuat dinamika semua peserta retret merasa
segera kerasan dan menemukan diri hidup secara penuh di dalam kebersamaan dan
berkat Allah. Ketika tim retret kami pro-aktif memilih “mobile” daripada
“sedenter” dengan prasarana yang memang telah disiapkan di Rumah Retret Giri
Nugraha Palembang, yaitu konkretnya kami berkeliling ke Belitang, Baturaja,
Lahat, Bengkulu, Jambi, dan lain tempat lagi, paket retret ala Civita untuk
empat hari tiga malam tetaplah efektif dan efisien membantu kaum muda bertumbuh
dan berkembang.
Persyaratan
retret yang lazim disingkat “K-4” (Keheningan, Kebebasan, Kerjasama,
dan Kedisiplinan) mesti diterapkan
di mana-mana. Kaum muda ibarat “tanah” yang siap ditaburi oleh benih-benih
nilai kehidupan yang holistik. Untuk itulah kami temukan adanya kondisi umum di
mana kaum muda merasa menemukan diri untk mengalami sendiri karunia kehidupan
yang indah dan layak diungkapkan.
Kata “sharing” yang sekarang sudah
amat lazim dipakai oleh masyarakat umum untuk mengungkapkan
pengalaman-pengalaman yang coraknya amat pribadi, menjadi kata kunci untuk
membangun kebersamaan di antara kaum muda. Berangkat dari martabat manusia
sebagai “aku” yang sadar dengan segala kelebihan dan kekurangan, serta tidak
lepasnya cita-cita yang masih bisa berganti tetapi tetap bisa dijadikan
“jangkar” penyangkut harapan-harapan masa depan, kaum muda hendaknya dilayani
untuk menyadarinya, menemukannya dan kemudian mensharingkannya di dalam
kelompok. Dalam kenyataan tidak semuanya serba lancar, tetapi karena diteruskan
dan dimaknai di dalam dinamika retret seterusnya, yang semula belum sampai
terungkap dangan jelas pelan namun pasti bisa menjadi terbuka. Karena itu,
lazimlah bahwa pada saat diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan anggota
tim retret, tidak sedikit yang sampai masuk pada relasi konseling yang bahkan
diteruskan setelah retret selesai. Menaruh kepercayaan atau trusting kepada pribadi lain untuk
sebuah proses pertumbuhan dan perkembangan menjadi sangat bernilai bagi kita
manusia, khususnya kaum muda yang sedang mengalami suasana pancaroba (ciri-ciri
psikologis para remaja/adolescence).
Tidak ada upaya untuk “mencuci otak” (brain-washing)
kaum muda, karena tema-tema yang telah dirancang mempunyai arah dan tujuan
serta metode yang sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Metode
esperiensial-partisipatif dengan sendirinya bertemu secara sinkron dengan
metode pendidikan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).
***
Keakraban yang disertai sikap saling
menaruh kepercayaan tidak hanya terjadi antara pembimbing retret dengan
retretan, tetapi juga terbentuk antara retretan, yang dari awal diatur untuk bekerjasama
melalui kelompok. Setiap diadakan retret tidak lepas dari group-encounter di mana terjadi community
building atau pembangunan kelompok. Untuk itu banyaknya peserta retret yang
berkisar pada jumlah 40-an kaum muda dapat dibagai menjadi empat kelompok, hal
ini turut menentukan ideal pertumbuhan dan perkembangan kaum muda sebagai
kelompok. Ideal lain ialah bahwa setiap kelompok mendapatkan pendampingan lebih
dekat dari salah satu anggota tim retret. Kepemimpinan pembimbing retret
seperti disemboyankan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sung Tulada; Ing Madya Mangun Karsa; Tut Wuri Handayani”
(Di depan ia memberi teladan kepada mereka; di tengah-tengah mereka ia
membangun kehendak; dan di belakang ia memberi dorongan kepada mereka) benar
dapat dipraktekkan. Ia menjadi guru dan sekaligus teman di dalam sharing, kerja
kelompok; serta pembimbing yang kepadanya mereka dapat bertanya dan mendapatkan
peneguhan. Tugas-tugas yang mesti diselesaikan oleh kelompok, seperti menyuci
perabotan makan dan minum, membersihkan aula, kamar makan, dan kapel, yang
diatur secara rotaris, menjadi kesempatan untuk berkembang di dalam bekerjasama
yang adalah konsekuensi logis dari kehidupan sosial kita. Lebih jauh lagi
tugas-tagas kelompok diarahkan untuk mengolah tema demi tema, yang dipertemukan
bersama melalui pentas drama dan tugas liturgis yang sifatnya komplementer dan
bukan kompetitif.
Meskipun demikian, tema “Siapakah
Aku Ini?” dan atau “Kebebasan Menentukan Masa Depan” tetaplah diarahkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan individual. Ekspresi-ekpresi individual melalui
tulisan berupa buku harian, majalah dinding, doa, puisi, karikatur, vignet,
kolase, konseling individual, dan pengakuan dosa, mendapatkan tempat penting
bagi pertumbuhan individual. Prospek ke depan bahwa manusia bisa menjadi
“seorang pujangga” adalah salah satu pesan profetis bagi kaum muda, yang hidup
di dalam konteks iptek yang sangat kuat. Karena itu mendekati kehidupan dengan
emosi dan fantasi, dengan hati dan intuisi, adalah kemungkinan yang bisa ditawarkan
dengan pengalaman-pengalaman holistik dan transendental. Ketika tiba saat
hening atau silentium, yaitu mulai
dari saat ibadat malam sampai setelah selesai pembahasan tema di pagi hari,
masing-masing masuk pada diri pribadi dengan sejuta kemungkinan untuk mengalami
diri di dalam relasinya dengan diri sendiri, dengan orang tua, dengan teman,
dengan alam lingkungan dan terlebih dengan Allah. Model pembangunan dan
pengembangan rumah retret perulah tetap mempertimbangkan aspek-aspek kebutuhan
seperti ini. Angin, daun, ranting patah dan jatuh ke tanah, bunga kecil mungil,
suara-suara yang cuma bisa didengar pada malam hari adalah sajian gratis yang
dapat menyadarkan diri retretan memasuki cakrawala hidup yang semakin holistik
dan transendental.
Karenanya kaum muda yang sedang
mengalami retret dapat semakin menjadi bagian integral dari masyarakatnya,
termasuk lingkungan hidup yang sekarang ini amat disadari pentingnya untuk
dilestarikan dan diintegrasikan. Respek pada kehadiran sesama dan lingkungan hidup
di dalam cakrawala manusiawi dan sekaligus ilahi adalah nilai-nilai perennial
yang perlu kita latihkan melalui retret, dan seterusnya melalui wisata yang
rekolektif.
***
[Mulai pertengahan tahun 80-an,
rupanya program retret ala Civita ditiru oleh sekolah-sekolah negeri dan swasta
lain, yaitu dengan menyelenggarkan acara “Pesantren Kilat”. Saya tidak pernah
tahu dan ingin tahu apa yang mereka lakukan dengan program “Pesantren Kilat”,
yang berlangsungnya juga sekitar tiga-empat hari. Namun “output”-nya jelas
yaitu menjadi semakin islami dalam perilaku dan perwajahan kostum
saudara-saudari kita ini.]
***
Kembali kepada kenangan saya akan
nilai-nilai bina kaum muda melalui retret (dan juga rekoleksi), masih ada
hal-hal yang perlu kita dalami. Secara utuh sekali lagi retret ala Civita tidak
lepas dari Latihan Rohani Ignasian, yaitu berupaya masuk melalui dunia kaum
muda sebagai retretan dan keluar dengan semangat Yesus Kristus dari Nasaret.
Manusia yang jatuh ke dalam dosa melalui pertobatan menemukan kembali
jatidirinya sebagai “tuan dan hamba” atas kehidupan. Dan sifat-sifat “tuan dan
sekaligus hamba” itu kita temukan di dalam way
of life Yesus dari Nasareth. Sebagai subyek atau lebih trendi sebagai agen
dari kehidupan, manusia tidak bisa hanya ikut arus atau bahkan menjadi obyek
dari arus-arus deras kehidupan yang sering memusingkan kita, khususnya orang
tua. Dia mempunyai kehendak bebas, selain hereditas yang perlu diamini di dalam
menemukan diri, “Siapakah Aku Ini?” Dia juga anggota kelompoknya dan bahkan ketika
diri sendiri pun tidak sempat memilih untuk menjadi orang Jawa, Cina, Batak, atau
“hibrida” antara Jawa-Flores, Flores-Cina, Betawi-Batak, dan lain sebagainya.
Realitas diri terberi (the given self)
seperti ini selain perlu diterima sepenuhnya, juga perlu ditumbuh-kembangkan
dengan sadar dan sepenuhnya dikehendaki. Jika ditemukan kasus gangguan
psikologis individual yang ekstrim pada umumnya diminta untuk diselesaikan
terlebih dahulu, sebelum mengikuti retret, agar tidak mengganggu proses
bersama. Yang menjadikan khas bahwa retret ini adalah retret Katolik dan bukan
dinamika kelompok dan bahkan bukan sebuah rangkaian program Outbound Training yang akhir-akhir ini
sangat digemari/diminati. Retret bertujuan mengolah hubungan personal dengan
Allah Tritunggal Yang Mahakudus. Intinya bahwa di hadapan-Nya-lah kita mau
terbuka dengan mengatakan siapa diri kita dengan segala kelebihan dan
kekurangan; lebih lanjut dengan mengikuti wafat dan kebangkitan Yesus Kristus,
kita membiarkan diri boleh ambil-bagian dalam ke-allahan-dan-kemanusiaan Dia
secara penuh. Maka ketika Kasih-Nya (atau lebih tepat Dia sendiri adalah Kasih,
Deus Caritas Est) sungguh menguasai
diri kita untuk menghidupi situasi kebangkitan di dalam hidup keseharin kita,
kita menjadi manusia baru untuk membaharui kehidupan dunia.
Karena itu, “Yang penting buktinya,
Bung!”
***
Catatan. Saya berkeyakinan bahwa
membimbing retret dengan mengedepankan metode eksperiensial-partisipatif alias
non-direktif, ibarat seorang koki atau ahli masak dari suatu restoran yang
melayani banyak orang dengan berbagai latar-belakang kehidupan dan membawa
selera masing-masing. Berangkat dari situasi mereka ini, satu tujuan pasti
tetap saya pegang, yaitu mereka menjadi sehat karena makanan yang kita sajikan
sesuai dengan keinginan mereka. Jika mereka sehat maka akan dapat melanjutkan
kehidupan mereka dari berangkat dari sari-sari yang telah dibatinkan,
diinternalisasikan di dalam dirinya. Ada berbagai macam jenis sayur, daging,
nasi, minuman, dan berangkat dari situlah kita menawarkan komposisi 4 sehat 5
sempurna bukan dalam bentuk prasmanan, tetapi sajian yang diberikan satu per
satu. Untuk mencapinya tidak tepat jika secara intelektual retretan harus kita
beri tahu akan apa tema-temanya dan bagaimana hendak dicapainya mulai dari awal
sampai akhir. Retret bukan kuliah, tetapi pengalaman iman dengan output yang tidak lepas dari kebebasan
pribadi di hadapan Allah yang merahmati.
Ketika Yohanes Pemandi meminta agar
murid-muridnya tidak salah menemukan Yesus, jawaban Yesus adalah ajakan untuk
menjadi surprise mengalami Dia. "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang
kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang
kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada
orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan
menolak Aku." (Mat11:4-6 ).
Pamulang,
14 Januari 2014
P. H. Wardjito, SCJ
Selamat
merayakan 40 tahun keberadaan
Rumah Retret Civita. Tuhan memberkati selalu.