“Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu,
akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan
Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.”
(Wahyu 7:17)
Hari pertama: Bersyukur
kepada Allah
Saat
di Civita, kami disambut baik oleh Sr. Yoaneta, CB. Kemudian, kami pun bertemu
dengan para staf Civita yakni yaitu
Sr. Tilde, CB, Sr.
Helena, CB dan Fr. Wahyu. Setelah itu kami disambut dengan
hangat oleh mereka dan makan siang bersama. Selain itu di Civita ada RP. Odemus Bei Witono, SJ
(Rm. Bei) selaku Direktur Civita serta
RP. Alex Dirjo, SJ.
Hari
ini adalah hari pertama saya memperoleh kesempatan untuk belajar berpastoral memberikan
retret kepada anak-anak SD. Perasaan takut, cemas, gugup, panik saya rasakan
ketika hendak berangkat ke Civita.
Hal ini saya rasakan karena merasa belum siap untuk memberikan retret kepada
anak-anak SD selain itu
tidak ada gambaran mengenai memberi
retret. Ketika mendengar dan mengetahui bahwa saya dan Fr. Fritz akan memberikan
retret kepada anak-anak SD, saya merasa semakin cemas karena akan kembali
berhadapan dengan anak-anak SD. Hal ini saya rasakan karena pengalaman mengajar
ketika di sebuah SD
yang anak-anak yang sulit diatur. Akan tetapi, saya berusaha menepis semua itu,
dan mencoba untuk menjalani dan menghadapi apapun yang terjadi.
Dalam retret gelombang pertama ini, saya mendampingi SD
Sang Timur Karang Tengah. Dalam
retret gelombang pertama ini, saya
bersama Fr. Fritz di Civita 1 untuk mengamati
dan belajar bagaimana memberikan materi dan sesi retret yang dibawakan oleh Fr. Wahyu. Sesi ini merupakan sesi selamat datang dengan
memperkenalkan Civita. Secara sekilas, saya melihat bahwa para
peserta retret yang hadir merupakan anak-anak yang dimanjakan orang tuanya hal itu terlihat dari barang-barang
yang dibawa dan dipakai selama retret. Melihat situasi ini, saya merasa
prihatin akan kondisi ini karena hal ini akan membuat mereka mempunyai
ketergantungan akan barang-barang tersebut dan asyik dengan dunia mereka
sendiri. Dan pada akhirnya membuat relasi mereka baik dengan sesama, keluarga
bahkan Tuhan semakin jauh.
Tema yang diangkat melalui retret SD
ini adalah “Saya Yang Dikasihi”.
Melalui tema ini, para peserta retret diharapkan menyadari bahwa dirinya adalah
pribadi yang dikasihi oleh sesama dan Tuhan. Dari tema ini, saya pun ikut
merasa disadarkan bahwa
Tuhan mahapengasih. Melalui kegiatan
pelatihan ini, saya pun merasa bersyukur bahwa Tuhan itu mahapengasih di mana ia memberi saya
kesempatan ini untuk membuat saya belajar dalam memberikan retret agar menjadi
bekal dalam menjalankan tugas-tugas perutusan.
Hari kedua: Semua ada
waktunya
Pagi hari ini terasa sejuk dan sesi
dengan sesi Doa Alam. Pada sesi ini, saya bersama Fr. Fritz dan Sr. Tilde
menjelajahi alam sekitar Civita dengan bertelanjang kaki. Pengalaman ini
menjadi berarti dan berkesan bagi saya. Dalam sesi ini, saya diingatkan dan disadarkan bahwa Tuhan yang mahaagung hadir melalui
keindahan yang diberikan-Nya melalui alam ini.
Dalam Doa Alam ini saya melihat
berbagai ekspresi anak-anak seperti merasa senang karena dapat berjalan di atas
tanah tanpa alas kaki, jijik atau takut
akan sesuatu yang akan melukai
kakinya. Saya pun ikut berjalan tanpa alas kaki untuk membuat mereka berani dan
termotivasi bahwa merasakan hal seperti ini merupakan hal yang menyenangkan.
Selama
retret saya
terbawa suasana dan merasa menjadi peserta retret, saya merasa
bahwa saya masih dicintai Tuhan, yaitu saya masih diberikan kesempatan untuk
merasakan keindahan alam yang diciptakan-Nya. Pengalaman ini membuat
saya sadar bahwa Tuhan sangat baik dan mahakuasa di mana Dia menciptakan segala
sesuatu yang indah dan baik bagi kita semua. Dan sebagai frater diosesan, saya disadarkan pula untuk
menghargai dan merawat segala ciptaan-Nya terutama di Jakarta ini.
Pengalaman kedua yang berkesan adalah
saat mendampingi presiden
dan wakil presiden Civita 1 untuk pulang dan tidak
mengikuti retret lagi karena belum
melaksanakan tugasnya. Pengalaman ini berkesan bagi saya
karena melihat ekspresi para peserta yang terlihat murung dan menyesal atas
perbuatan mereka yang membuat pemimpin mereka harus pulang dan tidak dapat
melanjutkan retret ini. Saat
pemimpin mereka diantar keluar gerbang rumah retret Civita, ada seorang anak
perempuan yang berlari mengejar mereka hingga terjatuh. Dari peristiwa ini,
saya sungguh terkesan oleh persahabatan mereka. Meskipun mereka masih anak-anak, tetapi kepedulian
dan persahabatan mereka sudah terlihat jelas. Saya pun disadarkan akan
pentingnya sebuah nilai persahabatan dan kepedulian terhadap sesama. Selain
itu, sebagai frater
diosesan KAJ, saya pun disadarkan
untuk peduli terhadap sesama terutama yang hidupnya mengalami berbagai
kesulitan.
Lalu, pengalaman ketiga yang
berkesan adalah saat sesi Kasih Allah
yang dilanjutkan dengan pengakuan dosa, di sini
mereka menangis. Sesi
ini memang menghantar
peserta untuk
menyesali segala perbuatan mereka
khususnya kepada orang tua dan
sesama. Di tengah-tengah sesi seorang
anak yang menangis karena teringat akan kedua orang tuanya, dan tidak lama
kemudian yang lain pun menangis. Saya melihat tangisan tersebut sebagai penyesalan dalam diri mereka. Saya melihat
betapa polosnya mereka dari tangisan mereka. Keadaan ini membuat saya
terhenyak akan keadaan dan situasi mereka yang begitu hanyut dalam kesedihan yang tercipta dalam sesi
ini. Hal ini mengingatkan
akan pengalaman saya di masa lalu
ketika seusia mereka. Saya merenungkan bahwa ada saatnya merasa senang dan ada
saatnya merasa sedih. “Semua ada
waktunya”, kata inilah yang menggambarkan keadaan saat ini.
Hari ketiga: Berani mencoba
sesuatu yang baru
Hari ini merupakan hari retret terakhir bersama anak-anak
SD Sang Timur Karang Tengah gelombang pertama. Ada perasaan sedih karena harus
berpisah dengan anak-anak retret gelombang
pertama ini padahal saya
mulai akrab dan dekat. Namun memang semua
ada waktunya ada perjumpaan
ada perpisahan. Perpisahan ini merupakan awal bagi mereka untuk
kembali ke kehidupan yang nyata, di keluarga maupun di sekolah. Semoga perubahan
dalam diri mereka untuk lebih disiplin dan hening terbawa ke tempat mereka berada. Hari juga awal bagi saya untuk terjun
dan memberikan retret anak-anak
SD Sang Timur Karang Tengah gelombang kedua.
Perpisahan dengan mereka membawa perasaan
sedih dalam diri saya. Sebagai seorang
frater diosesan, saya pun harus tetap
menjalankan tugas perutusan saya
ini, saya tidak boleh terlalu terbawa oleh perasaansaya yang terkadang
mendominasi diri saya ini. Saya harus taat akan tugas perutusan saya ini. “Pertemuan merupakan awal dari Perpisahan”.
Kata inilah yang menjadi penguat diri saya ketika terbawa perasaan sedih karena
berpisah. Saya yakin bahwa suatu saat nanti, ada waktunya untuk bertemu kembali
seperti Yesus yang wafat dan tiga hari kemudian bangkit dan bertemu dengan
murid-murid-Nya.
Setelah berpisah dengan para peserta
retret gelombang pertama, saya langsung bergabung dengan para peserta retret
dari SD Sang Timur Karang Tengah gelombang kedua. Pada hari ini, saya akan
secara aktif dan penuh memberi sesi.
Awalnya, saya sedikit panik
dan gugup karena belum terbiasa.
Akan tetapi, saya teringat akan pesan Sr. Tilde dan Sr. Yoaneta agar bertindak profesional agar meyakinkan. Untuk menciptakan suasana rileks saya
berinteraksi dengan menyapa mereka.
Hari ini, saya belajar untuk
bertindak profesional dalam melakukan sesuatu. Jika ada sesuatu yang dirasa tidak
bisa dilakukan, cobalah untuk melakukannya dahulu, jangan menyerah terhadap
situasi dan kondisi yang ada. Sumber utama
dari kegagalan adalah tidak adanya keberanian untuk mencoba.
Hari keempat: Mengendalikan
emosi dalam diri
Pada hari ini, saya benar-benar
mulai mendampingi retret sebagai
pembawa materi di setiap sesi baik di
Civita 1 maupun di Civita 2. Hari ini, saya kembali belajar akan kesadaran diri
sendiri dan pentingnya komitmen yang telah dibuat dan disepakati secara
bersama. Saat
evaluasi nilai mereka rendah karena mereka
banyak yang melakukan pelanggaran sehingga membuat presiden dan wakil presiden dipulangkan. Dalam evaluasi itu
beberapa anak mengaku bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang pada akhirnya
menyebabkan pemimpin mereka harus dipulangkan. Kesadaran ini menumbuhkan rasa bertanggung jawab. Mereka sadar bahwa seluruh tindakan
meraka selalu berakibat bagi orang lain. Rasa tanggung jawab itu menumbuhkan solidaritas di
mana mereka juga
bersedia untuk dipulangkan. Dari dua peristiwa
tersebut dapat lihat bagaimana nilai kesadaran dan tanggung jawab mulai ditanamkan
dalam diri mereka.
Sesi yang saya berikan selanjutnya adalah Ibadat
Persembahan. Dalam
ibadat ini, saya sempat merasa sedikit kesal. Perasaan ini muncul karena
kegiatan doa pada malam hari ini tidak dapat berjalan dengan baik. Komitmen untuk hening atau silentium yang sudah diperkenalkan
rupanya tidak dihiraukan dan tidak dilakukan kembali padahal waktu sudah
menunjukkan pukul 22.00 yang artinya sudah memasuki waktu silentium. Keadaan ini semakin tidak
terkendali karena anak-anak semakin asyik dengan obrolan mereka hingga saya
sempat memberhentikan sebentar ibadat tersebut. Setelah ibadat itu, saya sempat
menyesal karena saya terbawa emosi saya untuk memberhentikan sebentar dan
memperingatkan mereka akan keadaan silentium.
Saya pun sebenarnya sudah mencoba untuk bertahan dan mengendalikan emosi itu, akan tetapi hal itu
tetap saja keluar.
Sebagai calon imam diosesan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), saya sadar bahwa
hal ini sungguh tidak baik jika saya selalu terbawa emosi. Dan sebagai frater yang sedang menjalani
proses formatio ini, saya berusaha
untuk mengendalikan emosi dan
mencoba untuk tidak melakukan apa yang menurut saya dan menurut emosi saya itu
benar. Saya
akan berusaha untuk melihat segala
sesuatu secara objektif terlebih dahulu. Saya akan berusaha seperti Yesus yang
melihat suatu peristiwa
dengan jernih tanpa terbawa
emosi. Perasaan-Nya yang tenang dan jernih dalam melihat segala perkara membuat
Yesus memberikan jalan keluar yang sesuai dan objektif.
Hari kelima: Civita,
air kehidupan yang menyegarkan
Hari ini merupakan hari terakhir
saya berada di tempat Civita. Ada perasaan sedih karena
saya sudah mulai mengenal dan akrab dengan mereka baik secara komunal maupun
pribadi, baik itu dengan peserta retret maupun tim
Civita. Pada kesempatan ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk bersama-sama
dengan mereka lebih sering seperti menemani mereka memberi makan ikan, hadir dalam setiap
sesi. Sampai ketika mereka mau pulang, mereka mengucapkan terima kasih dan mengungkapnya dengan
memeluk kami. Saya terkesan akan perubahan diri mereka, semoga perubahan ini
tidak hanya terjadi di sini dan saat ini. Semoga mereka dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi di
mana pun mereka berada setelah disegarkan
dengan air kehidupan di Civita ini.
Hari
ini kami mengevaluasi seluruh perjalan selama di Civita bersama Romo Bei. Pada
evaluasi ini, kami menceritakan seluruh pengalaman kami. Dan dari evaluasi ini,
saya mendapat pesan dari Rm. Bei agar lebih memperhatikan segala sesuatu yang
ada di sini, carilah makna dari setiap peristiwa yang dialami, termasuk
peristiwa yang kecil. “Setiap peristiwa mempunyai sebuah makna. Carilah makna
dari sebuah pengalaman dan galilah lebih dalam, lalu hubungkan dengan
perjalanan hidup Yesus.” Itulah sebuah pesan yang diberikan Romo Bei dalam evaluasi kami.
Pengalaman kesempatan berpastoral
retret di Civita ini menjadi pengalaman berharga bagi saya. Hal ini sungguh
memperkaya dalam memberikan pendampingan kepada anak-anak. Saya sungguh
bersyukur dan berterima kasih atas kesempatan ini karena hal ini akan membantu
saya dalam menjalankan tugas perutusan yang salah satunya adalah mengajar di SD
Strada Dipamarga. Saya sungguh-sungguh merasa senang karena dapat berjumpa
dengan anak-anak dari SD Sang Timur Karang Tengah yang memberi saya penyegaran
terutama dalam hal rohani. Pengalaman bersama mereka membuat saya semakin
bersemangat dalam menjalani jalan panggilan ini sebagai frater diosesan KAJ.
Selama berada di Civita, secara
pribadi, saya merasa senang. Di rumah
retret Civita ini program pembinaan yang disediakan tertata rapi dan menarik serta menyenangkan. Tempat ini
sangat cocok bagi para kaum muda yang sedang mencari identitas mengenai dirinya
maupun yang ingin dibina baik secara jasmani maupun rohani. Tempat ini
mempunyai fasilitas-fasilitas yang cukup memadai untuk pembinaan diri para kaum
muda. Udara yang segar, daerah yang cukup luas, dan pemandangan yang indah
menjadi sarana yang sangat mendukung bagi pembinaan kaum muda. Rasa syukur dan
terima kasih, hanya itu yang dapat saya katakan mengenai pengalaman berpastoral
di Civita. Banyak nilai dan pengalaman berharga yang saya dapatkan di tempat
ini, baik dari pengalaman bersama para staf Civita, pengalaman mendampingi
retret anak-anak, maupun melihat keindahan alam sekitar Civita ini.
Semoga Rumah Retret Civita Youth Camp yang telah
berusia 40 tahun senantiasa memberikan air kehidupan sehingga siapa pun yang
datang disegarkan. Profisiat untuk perayaan Lustrum VIII Civita Youth Camp.
Semoga Tuhan memberkati seluruh usaha dan niat baik kita dalam pelayanan retret
di Civita ini sebab “Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan
menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan.” (Wahyu
7:17a).
* Penulis adalah frater Tahun Orientasi Rohani
Keuskupan Agung Jakarta. Tulisan ini merupakan refleksi dari
pengalaman belajar berpastoral
di Civita pada tanggal 18-22 November 2013.