Seorang
teolog Asia, Kosuke Koyama pernah menulis bahwa “orang yang menarik adalah
orang yang mampu melihat di balik yang tampak dan mampu mengkomunikasikan di
balik yang tampak itu pada orang lain”. Yesus adalah contoh pribadi yang
menarik karena Ia mampu melihat di balik yang tampak, yakni hal-hal yang
ordinary—biasa—dalam hidup kita. Ia mampu melihat gambaran hidup manusia dalam
bunga yang tumbuh, pagi-pagi berkembang dan berbunga, di sore hari layu dan
kering. Ia mampu melihat kualitas iman dan hidup manusia melalui tanah dan
benih yang di tanam seorang petani. Setiap proses untuk menjadi pribadi yang
baik mengarahkan orang untuk untuk sampai pada hal ini, yakni mampu melihat
sesuatu yang inti atau berarti dalam hidup ini.
Civita tempat untuk belajar menemukan signal
Civita Youth Camp menjadi sebuah
tempat yang tak terlupakan bagi saya. Dari sinilah saya belajar melihat sesuatu
di balik yang tampak. Saya belajar melihat sesuatu di balik hidup yang singkat
ini. Saya mengalami tugas di Civita pada akhir tahun 2011 hingga pertengahan
tahun 2012. Kurang lebih setahun saya tinggal bersama dan mengalami dinamika
kehidupan di tempat ini. Ada banyak kisah yang mewarnai perjalanan hidup saya.
Civita, dari nama ini mengandung sebuah harapan seperti ketika seseorang diberi
nama. Dari namanya ada harapan yang terkandung di dalamnya, misalnya Wicaksana,
orang tua berharap bahwa anak ini akan menjadi pribadi yang bijaksana dalam
hidupnya. Civita, benar-benar telah menjadi sumber air yang memberikan
kesejukan bagi banyak orang yang dalam kehausan mencari Sang Sumber Air Hidup.
Di tempat inilah orang datang silih
berganti mengambil waktu untuk berdiam diri dan berrefleksi untuk dapat
menemukan Dia yang tersembunyi dan menanti untuk ditemukan dalam setiap detik
pengalaman hidup manusia. Saya percaya bahwa setiap orang yang datang di tempat
ini percaya akan adanya Tuhan, tetapi terkadang mereka sulit mengalami Tuhan
karena ada begitu banyak penghalang yang bisa memisahkan mereka dengan Dia.
Ibarat
kisah dalam Markus 12:1-12, tentang orang lumpuh yang sembuhkan. Menarik kalau
kita refleksikan kisah itu. Ada teman si Lumpuh yang berusaha membawanya masuk
kepada Yesus, namun mereka tidak bisa masuk dan menemui Yesus sehingga mereka
harus membongkar atap rumah untuk dapat sampai kepada Yesus. Saya membayangkan
bahwa satu di antara teman si Lumpuh adalah pemilik rumah tersebut. Mengapa?
Jika bukan salah satu pemilik rumah, maka membongkar atap rumah bisa menjadi
sebuah tindakan kejahatan, karena merusak milik orang lain walau pun tujuan
mereka untuk membantu orang lain. Tetapi karena seorang di antara mereka adalah
pemilik maka dengan leluasa mereka bongkar karena ada yang akan bertangung
jawab.
Apa
yang mau dikatakan dari sini dalam kaitan dengan sebuah retret adalah, bahwa
mereka yang datang ke Civita atau pun mereka yang sedang retret atau rekoleksi
sebetulnya berusaha untuk menemui Yesus dalam hidup mereka. Namun ada
penghalang, entah itu karena begitu sibuk, atau pintu masuk rumah mereka sudah
tertutup oleh banyak hal. Atap rumah menjadi sebuah simbol kenyamanan. Orang
yang berada di bawah atap akan terhindar dari panas terik matahari, hujan atau
pun binatang liar dan sebagainya.
Untuk
dapat berjumpa dengan Yesus orang harus membongkar kenyamanan yang ada selama
ini. Apa saja atap kenyaman itu? Yakni hal-hal yang menjadi tempat kita
menggantungkan harapan. Apakah itu uang, harta benda, orang-orang, kemampuan
atau apa? Ketika mengandalkan itu semua dan kita merasa nyaman dengannya, lama
kelamaan pintu rumah kita tertutup, walau Yesus berdiam di dalam rumah hati
namun sulit untuk dapat duduk bersama-Nya dan mengalami kasih-Nya. Yang saya
tahu bahwa Dia ada dalam hidup saya, mungkin itu yang akan kita katakan. Maka
untuk dapat sampai pada Yesus, kenyamanan-kenyaman ini yang harus dibongkar.
Ketika kenyamanan atau atap tempat kita berlindung dibongkar maka kita tak
hanya dapat bertemu dengan Yesus tetapi akhirnya kita juga membawa orang lain
mengalami Yesus.
Dalam permenungan saya Civita telah
menjadi sebuah tempat di mana orang belajar untuk melihat atap rumah mana yang
perlu ia bongkar sehingga mampu untuk masuk dalam rumah tempat dimana Tuhan
berdiam. Tuhan sedang duduk dan menanti untuk ditemui dan tidak dibiarkan
seorang diri di dalam sana. Selama setahun di Civita, ada ribuan peserta retret
maupun rekoleksi yang datang. Mereka berusaha untuk masuk dalam rumah hati
mereka sendiri dan menemukan Yesus di sana. Mereka berusaha untuk mengobati
kerinduan hati mereka untuk dapat menemukan Air Hidup.
Tujuan mendidik dan bukan menyenangkan peserta
Hal lain yang menarik bagi saya
selama menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Civita yakni proses
pendampingan terhadap peserta retret. Dari banyak kesempatan saya mengikuti
retret saya menjumpai bahwa kadang dalam pendampingan, pendamping jatuh pada
apa yang disenangi peserta, sehingga pendampingan disesuaikan dengan permintaan
peserta retret padahal hal itu belum tentu mendidik. Namun, di Civita, saya
menemukan hal sangat berbeda, boleh saya katakan pendampingannya cukup ketat
dan benar-benar mendidik.
Tujuan
pendampingan kaum muda adalah untuk mendidik dan bukan menyenangkan peserta,
tetapi cara mendidik haruslah menyenangkan sehingga peserta dapat mengikuti
proses dengan baik. Pada awal retret biasanya peserta agak sulit menerima
berbagai aturan yang ada, namun pada hari terakhir mereka setidaknya ada
kesadaran bahwa dengan cara pendampingan Civita mereka telah diajarkan berbagai
hal yang dapat berguna untuk kehidupan mereka dalam masa-masa yang akan datang
dan masa kini.
Saya
sangat percaya bahwa ketika mengikuti sebuah retret seseorang lalu berubah
dengan cepat itu sesuatu yang agaknya luar biasa. Kadang perubahan itu terjadi
satu minggu setelah itu kembali seperti dulu.Perubahan itu terjadi melalui
suatu proses yang cukup panjang, setelah sekian tahun barulah orang sadar bahwa
apa yang pernah mereka terima dalam retret, ternyata berguna untuk hidup mereka
lalu mereka berjuang ke arah itu.
Menimba air hidup
Civita tidak hanya menjadi tempat
bagi kaum muda untuk menemukan Tuhan dalam hidup mereka, tetapi juga menjadi
tempat bagi para pendamping untuk menimba air hidup dan membawa pulang ke
tempat masing-masing untuk dibagikan bagi banyak orang yang mendamba akan Dia
Sang Air Hidup. Selama di tempat ini, saya belajar bersama dengan romo, suster,
frater, dan bruder, dari berbagai tarekat. Cara belajarnya adalah dengan learning by doing karena kita percaya
bahwa setiap pribadi tidak pernah datang tanpa sesuatu. Mereka pasti punya
sesuatu yang dapat mereka bagikan bagi teman-teman lain yang juga sedang
belajar sehingga dapat saling memperkaya di antara pendamping dengan berbagai
bentuk permainan maupun model-model pendampingan yang dapat membantu peserta
untuk dapat mengerti materi dengan baik.
Setelah
mengikuti kursus selama 3-6 bulan biasanya pendamping dari berbagai tarekat
kembali ke tempat masing-masing dari berbagai daerah di seluruh Indonesia
dengan membawa pulang bekal yang telah mereka timba selama di Civita. Bekal itu
pula yang mereka olah dan disampaikan dalam pendampingan sesuai dengan
kebutuhan setempat dan sesuai dengan spiritulitas masing-masing tarekat. Civita
telah melahirkan banyak pendamping retret bagi kaum muda, entah yang bertugas
di rumah retret maupun yang di asrama atau di sekolah. Air Hidup telah mengalir
sampai jauh.
Jam 12 malam
Saya teringat pada sebuah pengalaman
bersama anak-anak dari salah satu SD di Jakarta. Mendampingi anak-anak SD
merupakan sesuatu yang menyenangkan, karena kita akan masuk dalam dunia yang
polos, penuh kegembiraan, spontan, dan banyak hal lain yang tak terduga bisa
terjadi. Kamar tempat saya tidur di Civita I bersebelahan dengan kamar peserta, sehingga jika
terjadi kegaduhan di malam hari langsung terasa sampai di kamar.
Beberapa
kali, saya bangun tengah malam dan menumpai mereka sedang asyiknya bercerita
dan tertawa sambil makan dan minum di ruang makan. Saya tegur mereka sekali,
saya masih baik-baik, dua kali mulai agak keras, dan ketiga kalinya saya
berteriak sekencang-kencangnya di depan pintu ruang makan dan mereka semua
berlarian menyembunyikan diri ke kamar masing-masing. Kalau ada tetangga yang
belum tidur malam itu, mungkin akan mendengar suara saya dengan sangat jelas.
Suatu kali, kisah yang sama terjadi,
sekitar pukul 23.00 ada yang bangun dan berlari-lari dengan menutup kepala
pakai ember tempat sampah, ada yang merangkak seperti mengintai musuh yang
hendak ia tangkap dan macam-macam hal yang lucu terjadi. Kadang saya tertawa
sendiri melihat hal-hal yang menarik itu. Ini benar-benar dunia yang asyik dan
menyenangkan, tapi menjadi tidak asyik karena mengganggu waktu tidur. Nah,
pukul 23:55 kembali saya mendengar semua pintu kamar terbuka dan peserta baik
laki-laki maupun perempuan semuanya ikut bangun. Mendengar bunyi-bunyi yang
mengusik telinga, saya mulai keluar, hendak memakai jurus teriak
sekencang-kencangnya biar mereka semua pada lari dan tidur kembali. Saya keluar
pelan-pelan dan mengamat-amati, ternyata mereka semua menuju ruang konferensi.
Saya berdiri dekat kamar mandi di Civita I, saya hampir meneriaki mereka. Belum
sempat saya berteriak, saya melihat anak-anak itu semuanya berlutut di lantai.
Salah satu dari antara mereka mengajak teman-temannya untuk memulai doa
angelus. “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin. Maria diberi kabar
oleh Malaikat Tuhan…” demikian mereka berdoa. Melihat apa yang mereka lakukan,
saya sangat malu malam itu. Untung saya tidak berteriak kepada mereka. Kalau saya
berteriak tentu meraka akan mengatakan, “maaf Frater kami mau doa angelus”
betapa malunya saya terhadap anak-anak dan para pendamping mereka jika hal itu
terjadi. Pelan-pelan saya mengundurkan diri dari tempat saya berdiri dekat
kamar mandi dan masuk kamar. Saya menertawakan diri saya sendiri. Anehnya,
sesudah mengundurkan diri diam-diam, sampai di kamar, saya tidak juga berdoa
angelus.
Dari
pengalaman kecil ini, adik-adik kecil itu telah mengajari saya untuk berdoa
secara disiplin. Mereka mengajari saya, bahwa hendaknya tidak cepat menaruh stereotype pada setiap orang karena apa
yang saya pikirkan belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Mereka mengajari
saya untuk mengisi hidup ini dengan gembira. Kesusahan sehari cukuplah untuk
sehari, mengapa? Karena anak-anak sesudah dimarahi malam harinya, esoknya
mereka sudah lupa dengan semua itu dan kembali bersahabat dengan pendamping
tanpa takut asalkan pendamping mau bersahabat dengan mereka.
Untuk
dapat masuk dalam dunia kaum muda serta anak-anak pendamping dituntut untuk
dapat masuk ke dalam dunia mereka. Dunia generasi sekarang adalah dunia yang
penuh dengan kejutan dan mereka bergerak lebih cepat daripada pendamping, maka
pendamping perlu mengimbangi hal itu yakni dengan memiliki pengetahun tentang
hal-hal yang sedang tren bagi kaum muda.
“Ter… nanti ada outbound yach?”
Ada
hal yang menarik lainnya yang saya amati dalam berbagai pendampingan, baik bagi
kaum awam maupun religius. Hampir di setiap pendampingan entah itu dalam retret
maupun rekoleksi hal yang selalu diminta adalah “jangan lupa ada outbound yach”. Outbound, seolah menjadi bagian penting dari sebuah rekoleksi atau
pun retret. Pernah suatu kali saya diminta untuk mengisi rekoleksi sehari bagi
kaum muda. Acaranya mulai jam 09.00-14.00 lalu tutup dengan misa. Dari panitia,
saya diberi jadwal, jam 09.00-10.00, sesi dari frater, selanjutnya outbound. Bayangkan dalam waktu yang
sangat singkat, sempat-sempatnya, outbound
menjadi prioritas yang utama. Saya lalu bertanya pada panitia, mengapa
jadwalnya demikian? “Sesuai evaluasi tahun yang lalu, peserta mintanya outbound” jawab panitia tersebut.
Akhirnya saya mengatakan, “maaf, saya dalam pendampingan tidak bertujuan
menyenangkan peserta, tapi saya mau mendidik mereka”.
Dari
pengalaman di atas tampak bahwa tradisi rekoleksi maupun retret dalam Gereja
Katolik sebagai sebuah wadah bagi retretan untuk berdiam diri dan berefleksi
mulai bergeser maknanya. Rekoleksi atau retret berbeda dengan wisata rohani,
berbeda dengan rekreasi. Tentu saja kita menyesuaikan dengan tuntutan zaman,
namun jangan sampai kita kehilangan nilai di balik rekoleksi atau retret yang
sesungguhnya.
Uang banyak atau umur panjang?
Pada pesta ulang tahun berdirinya
Civita Youth Camp ini, saya turut bergembira dan dalam nada syukur saya ingin
mengucapkan proficiat dan sukses
selalu, semoga air hidup itu terus mengalir dari sumbernya sehingga tidak
berhenti mengalir dalam perjalanan untuk memuaskan dahaga para peziarah dalam
dunia ini yang mencari-Nya. Saya ingin mengutip sebuah kisah inspiratif yang
pernah saya dengar.
Ada
seorang pemuda yang sangat benci dengan ibunya yang amat cerewet, suka ngomel
dan selalu mengatur, dan seringkali mengirim uang untuknya terlambat. Karena
hidupnya begitu susah, ia pun berdoa pada Tuhan. Lalu Tuhan datang dan
mengatakan padanya, silahkan anda meminta tiga permohonan dan akan saya
kabulkan. “Benaran nich Tuhan? Nggak
bohongkan?” katanya kepada Tuhan. Ia pun memohon supaya ibunya meninggal.
Benaran Tuhan datang, lalu seketika ibunya meninggal. Ia berdiri di dekat peti
ibunya dan pura-pura menangis. Ia lalu lihat mayat ibunya lalu dia mengatakan ”Huh… dasar perempuan cerewet”.
Datanglah
teman-temannya mereka juga menangis. Yang pertama menangis dan menyebutkan
bahwa ibu inilah yang banyak menolong dia, saat kesulitan dan membantu keluarganya.
Lain lagi datang menyebutkan bahwa ibu ini orang paling baik dari yang pernah
ia kenal, sangat murah hati, perhatian dan bekerja keras untuk kebaikan banyak
orang. Pemuda itu pun jadi sadar, “wah
ternyata ibuku orang baik”. Ia lalu memohon pada Tuhan. “Tuhan kenapa setelah meninggal saya baru
mengerti bahwa ibuku seorang yang paling baik dan saya tahu dari orang lain.
Aku kan masih ada dua permintaan, kalo gitu hidupin kembali donk ibu gue”.
“Benaran nich” Tuhan bertanya. “Yach benaran” jawab pemuda itu. “Nggak nyesal?” Lalu Tuhan menghidupkan
kembali ibunya.
Sekarang
tingal satu permintaan, ia bingung harus minta apa. Lalu ia bertanya pada teman
disamping kosnya. “Bro… Tolongin gue
donk, gue bingung nich, Tuhan itu baik banget ama gue, Dia bilang aku boleh
minta 3 permintaan dan sekarang tinggal satu lagi”. “Wah kalo itu, gampang bro…minta aja uang banyak, kalo elo punya uang
banyak loe bakal dapat buat apa aja, mau liburan kapan aja, mau kemana aja, mau
makan apa aja segalaya ada”. “Hmmm…benar
juga, tapi masih bingung nich, nanya teman yang satu lagi ah”. Lalu ia
bertanya pada teman disebelahnya ”Bro gue
masih bingung mau minta apa ya ama Tuhan”. “Itu gampang coy…hal paling ditakutkan manusia adalah mati. Nah, loe
minta aja umur panjang, jadi yang namanya mati, nggak bakalan mampir ama elo.
Loe bisa liatin anak cucu cecet dan cocot loe…loe jadi nggak ada matinye”.
Pemuda itu makin bingung, kalo memilih hidup tapi nggak ada uang bagaimana?
Kalau milih uang, tapi toh cepet mati, bagaimana? “Wah..benar-benar pusing gue”. Setelah capek pusing dan muter-muter,
si pemuda ini menghadap Tuhan “Tuhan loe
aja dech yang miliin gue, gue nggak tahu yang terbaik untuk gue”, doanya. “Ah loe nggak nyesel nich, ntar tidak sesuai
gimana?” jawab Tuhan. “Ah Tuhan, gue
yakin itu bakal jadi yang terbaik buat gue” Lanjut pemuda itu. “Okay bro…loe minta hati aja”. “Hah? Hati Tuhan? Untuk apa? Ntar dulu tadi gue dah nanya, loe ngak
nyesal? katanya nggak, kok jadi kayak kesamber petir aja loe”.
“Okay..okay…lanjutkan Tuhan” “Gue mau ngasih Hati yang selalu bersyukur. Walau
pun loe punya banyak kekayaan, umur panjang, segalanya, tapi kalo loe tidak
punya hati yang tahu bersyukur semua itu menjadi tidak berarti.” TIDAK ADA KEINDAHAN DALAM HAL YANG TIDAK
DISYUKURI.
Yogyakarta,
21 Januari 2014
P. Richard
Billy, SSCC